Tuesday, July 19, 2005

Gerakan Buruh di Tengah Globalisasi Produksi

Pada tahun 1997, masih dengan keyakinan penuh, Direktur IMF Michel Camdessus mengatakan bahwa globalisasi menguntungkan bagi semua pihak termasuk buruh. Ia menunjuk pengalaman negara-negara industri baru (newly industrialized countries) seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Memang, jika kemajuan diukur semata-mata dari angka pertumbuhan, argumen pada pembela liberalisasi perdagangan dan penanaman modal ini dapat diterima. Tapi lain halnya jika pertumbuhan itu ditempatkan dalam kerangka perkembangan masyarakat secara umum. Dalam World Employment Report 1998-99, International Labour Organization (ILO) melaporkan bahwa pada akhir tahun 1998, sekitar satu milyar buruh atau sepertiga dari angkatan kerja dunia, berada pada posisi unemployed atau underemployed. Di Asia, tingkat pertumbuhan yang menakjubkan selama tiga dekade – dengan angka pertumbuhan rata-rata 8% per tahun – berjalan seiring dengan kondisi tenaga kerja yang justru semakin buruk.
Di dalam globalisasi dan juga agenda rezim dagang regional dan internasional, muncul strategi labour flexibilization yang merupakan respons pengusaha terhadap tekanan pasar yang semakin bebas dan kuat persaingannya. Menurut para pembela globalisasi kapitalis, strategi ini juga akan menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja lebih luas dengan menciptakan sistem kerja paruh-waktu (part time jobs), memudahkan negosiasi antara buruh dan perusahaan yang lebih fleksibel menghadapi tuntutan pasar, meningkatkan harkat buruh dengan membiarkan mereka bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak ketiga seperti serikat buruh, memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.
Namun, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kerja dan kehidupan buruh dalam globalisasi justru semakin merosot, terutama di negeri Dunia Ketiga. Strategi labour flexibility itu jelas menguntungkan perusahaan semata-mata dan berbagai 'keuntungan' bagi buruh yang disebutkan di atas, tidak pernah terjadi. Salah satu akibat dari pelonggaran hubungan kerja, yang menempatkan buruh dan posisi tawar yang sangat rendah, adalah mudahnya perusahaan melakukan pemecatan. Hal ini jelas terlihat dalam krisis yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dalam waktu kurang dari satu tahun, terjadi pemecatan massal di hampir semua sektor industri[1].
Gelombang pemecatan massal itu menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat serius. Letupan-letupan sosial yang melanda Indonesia sampai saat ini antara lain terjadi karena hancurnya sistem kesejahteraan sosial, termasuk perlindungan dan keamanan kerja (job security). Buruh yang dipecat pun umumnya tidak bisa kembali ke desa, karena proses industrialisasi yang berlangsung sejak tahun 1970-an melakukan penjarahan terhadap tanah-tanah rakyat dan memperkecil kesempatan kerja di desa. Dengan kemampuan dan kapasitas yang terbatas buruh terpaksa menjual tenaga kerjanya di tempat lain[2]. Persaingan mencari kerja yang tinggi dan downsizing di semua sektor berakibat sulitnya mendapatkan pekerjaan kembali sebagai buruh industri.
Sementara itu kehidupan buruh yang masih dipertahankan juga tidak membaik. Justru kehidupan mereka semakin terancam karena strategi labour flexibilization dan mekanisme pasar bebas yang hanya melayani kepentingan perusahaan. Dalam sebuah penelitian tentang penggunaan buruh kontrak di daerah industri Tangerang dan Surabaya, terungkap bahwa hampir semua (sekitar 90%) perusahaan yang diteliti menggunakan sistem kerja kontrak. Jumlah buruh kontrak ini bervariasi antara 10% sampai 90% dari keseluruhan jumlah buruh di masing-masing industri. Di sektor manufaktur ringan, seperti garmen dan tekstil, jumlah buruh kontrak dan tidak tetap jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Kecenderungan yang sama juga ditemui di beberapa negara Asia lainnya. Di Filipina misalnya, pada tahun 1992 ditemukan 73% pabrik telah menggunakan berbagai skema kerja yang fleksibel seperti itu.
Jenis dan sistem kerja kontrak, magang dan harian/borongan ini bervariasi dari satu industri ke industri lain. Masing-masing pabrik pun bisa menerapkan sistem kerja yang berbeda-beda, karena tidak ada aturan yang mengikat. Dalam sistem ini perusahaan tidak membuat kesepakatan kerja bersama (KKB) dengan buruh yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Buruh paling hanya menerima secarik kertas yang menyatakan mereka diterima untuk bekerja selama jangka waktu tertentu. Segala keputusan menyangkut hak dan kewajiban ada di tangan pengusaha. Di beberapa industri bahkan tidak ada kesepakatan tertulis apapun, dan buruh hanya menerima informasi tentang pekerjaan, hak dan tanggungjawabnya secara lisan dari mandor atau pihak yang merekrut.
Sistem ini sangat menguntungkan perusahaan, karena terlepas dari berbagai kewajiban yang harus dipenuhi jika menggunakan tenaga buruh tetap. Sementara bagi buruh, sistem itu senantiasa mengancam keamanan kerja (job security) karena dengan mudah hubungan kerjanya berakhir saat perusahaan tidak memerlukan tenaganya. Posisi tawarnya di hadapan pengusaha pun sangat rendah, karena kesepakatan kerjanya bersifat sementara. Untuk memulai atau memperpanjang kontrak, buruh terlebih dulu menerima persyaratan pengusaha yang tidak menguntungkan. Sistem kontrak ini juga bersifat individual, artinya langsung antara buruh yang bersangkutan dengan pihak perusahaan. Jika terjadi perselisihan, maka perusahaan hanya berhadapan dengan individu buruh, dan bukan dengan organisasi atau serikat buruh. Buruh kontrak, magang apalagi harian umumnya tidak tergabung dalam serikat buruh, sehingga sangat kesulitan untuk memperjuangkan kepentingannya. Di tingkat global, memang ada kecenderungan membangun industri yang de-unionized, di mana peran serikat buruh sangat dibatasi dan bahkan dihilangkan. Ikatan kerja dibangun langsung antara perusahaan dengan individu buruh, dengan dalih bahwa ikatan semacam itu 'lebih personal' dan menjamin kepentingan individu yang berbeda-beda.
Kemajuan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ini berkaitan secara langsung dengan resistensi buruh. Resistensi buruh ini berhubungan dengan struktur internal serikat buruh, dan ideologi pemimpin serikat buruh. Ketika serikat-serikat buruh mempunyai struktur-struktur yang demokratis, ketika para pemimpinnya melakukan perlawanan secara terorganisir, dan menganggap serikat buruh sebagai gerakan (bukan bisnis), serikat-serikat kerja menjadi lebih berhasil dalam meblokir implementasi kebijaka-kebijakan penyesuaian struktural dan agenda seutuhnya yang bersifat globalis, Di tengah tekanan kekuatan-kekuatan yang ada di atas, tidak ada pilihan lain bagi gerakan buruh selain melawan kerangka neoliberal secara kolektif, mebangun organisasinya lebih baik dan bekerjasama dengan lapisan dan sektor masyarakat lain yang juga dirugikan.

[1] Menurut laporan ILO tahun 1998, sampai akhir tahun tersebut sekitar 5,5 juta buruh dipecat, umumnya di sektor industri manufaktur ringan, konstruksi dan perdagangan. Menaker Theo Sambuaga sementara itu memperkirakan bahwa jumlah pengangguran pada akhir tahun 1998 akan mencapai sekitar 13,4 juta orang. (Kompas, 21/7/98).

[2] Mensos Justika Baharsjah misalnya menyebutkan sekitar 11.000 buruh perempuan yang dipecat semasa krisis terpaksa menjadi pekerja seks. (Pikiran Rakyat, 20 Juli 1998).

No comments: