Tuesday, January 17, 2006

NGO dan Gerakan Buruh

Permasalahan hubungan antara NGO dan gerakan buruh, selalu menjadi tanda tanya. Apakah serikat buruh itu NGO...? dalam terminologi wacana civil society, bisa jadi dua entitas yang sesungguhnya berbeda ini dikategorikan sama. Dalam tulisan ini akan dijabarkan perbedaan dan hubungan kedua entitas ini dilihat dari sejarahnya. Tulisan ini juga akan mencoba menjawab dan menguraikan secara singkat pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
1. Bagaimana sejarah keberadaan serikat buruh dan ornop di Indonesia
2. Dimana posisi serikat buruh (buruh) dan dimana posisi ornop dalam hubungannya dengan negara?
3. Dimana posisi serikat buruh (buruh) dan dimana posisi ornop dalam cengkraman neoliberalisme
4. bagaimana pola hubungan yang terbentuk antara ornop dan serikat buruh dalam pembangunan gerakan buruh pasca reformasi di Indonesia?
5. bagaimana strategi pembangunan gerakan buruh di masa mendatang?
Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau biasa disebut juga Organisasi Non Pemerintah (Ornop) memiliki arti penting sebagai sarana penghubung, penyadar, sekaligus sebagai `alat kontrol' dalam proses pembangunan Ornop sendiri muncul karena kesadaran akan arti penting nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab pembangunan. Bila demikian halnya, keberadaan Ornop memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan nilai asasi manusia yang didudukan sejajar dengan proses pembangunan. NGO di negara maju sendiri lahir akibat keprihatinan terhadap pembangunan kembali eropa pasca perang dunia II, serta bantuan internasional untuk dunia ketiga yang baru merdeka. Bantuan pembangunan kepada NGO pada tahun 1970-an ke atas lahir bersamaan dengan mengalirnya bantuan asing dan utang seiring dengan dekade modernisasi dan pertumbuhan ekonomi negara dunia ketiga[1]. Sementara, Ornop di negara-negara berkembang yang muncul belakangan bisa dikatakan merupakan bagian dari kapitalisme pasar, karena hidupnya berpusat pada kompetisi atau perebutan sumber funding dan kelompok sasaran. Dalam konteks itulah sesungguhnya Ornop lahir.
Mengenai masalah ornop, Hadiz dalam tesisnya mengungkapkan bahwa Ornop perburuhan berperan dalam pencarian strategi alternatif pengorganisiran buruh di Indonesia. Hadiz mengungkapkan[2];
“While the strategy adopted by alternative labour organizing vehicles has been well suited to the particular condition present in Indonesia, it is unclear whether it can become the basis for a stronger and more effective independent movement in the future. For such a movement to come to fruition in the medium to longer term, these vehicles would have to be able to develop a more cohesive, common front and eschew the kind of fragmentation that has so far circumscribed them” (kendati lembaga-lembaga pengorganisasi buruh alternatif telah memakai strategi yang tepat untuk kondisi khusus yang ada di Indonesi, tidaklah pasti strategi tersebut dapat menjadi basis untuk membangun gerakan yang kuat dan efektif di masa depan. Agar gerakan itu berhasil dalam jangka menengah dan jangka panjang lembaga-lembaga itu harus mampu membangun perlawanan bersama yang kompak dan menjauhi fragmentasi yang sejauh ini masih ada di diri mereka)
Keraguan Hadiz akan menguatnya gerakan Ornop ini adalah karena ketidakmampuan Ornop perburuhan untuk melakukan kerja bersama yang terkordinasi dengan baik dan bisa berjalan secara simultan. James Petras[3], dalam penelitiannya terhadap perkembangan Ornop di Amerika Latin menyatakan bahwa terdapat perbedaan kepentingan antara gerakan ornop dan gerakan rakyat. Tujuan pokok dari orang-orang ornop adalah ‘memeperoleh’ dana asing untuk proyek mereka, sementara isu utama kaum marxis adalah proses perjuangan dan pendidikan untuk menjamin transformasi sosial.
Awal mula masuknya Ornop dalam perburuhan dan serikat buruh di Indonesia dikarenakan mandulnya SPSI. Dimana SPSI (serikat Pekerja seluruh Indonesia) sebagai perwakilan serikat buruh telah gagal mewakili kepentingan buruh dan malah menjadi bagian dari sistem yang bertentangan dengan kepentingan buruh[4].
Pemikiran Gramsci berakar pada Marx dan Lenin. Gramsci membuat semua asumsi-asumsi tentang asal-usul material dari klas dan peranan perjuangan klas dan kesadaran dalam perubahan sosial. Gramsci juga mengambil pandangan Marx tentang hegemoni borjuis dalam masyarakat sipil seperti yang diungkapkan oleh Marx dan Engels dalam The German Ideology, dan mengolahnya menjadi tema inti menurut versinya tentang bekerjanya sistem kapitalis.
Gramsci memakai konsep hegemoni untuk menjabarkan dan menganalisa bagaimana masyarakat kapitalis di organisasi pada masa dulu dan kini. Menurutnya, kaum borjuis Inggris telah relatif sukses dalam menjalankan kepemimpinan hegemoni pada masyarakat sipil (civil society), pada negara dan sekaligus dalam ekonomi. Di Prancis, setelah revolusi 1789, borjuasi disana telah menjalankan hegemoni juga. Tapi kontrasnya, borjuis Italia Selatan, yang berbasis di Piedmont, telah gagal menjalankan hegemoni di Italia. Konsekuensinya negara Italia malah memunculkan fasis karena ia tidak berdasarkan atas kepemimpinan hegemonik oleh borjuis dalam masyarakat sipil dan juga negara.[5]
Hegemoni menurut Gramsci merujuk pada penertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya disebut ‘momen’ dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang: dominasi merupakan konsep dari relaitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dari semangat ini berbentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator. Jadi hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau klas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari lainnya.[6] Kapitalisme masih bertahan karena buruh menerima keadaan umum ini, dominasi budaya borjuasi membuat penggunaan kekuatan politik tak perlu untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian jalan pembebasan dari kondisi ini adalah: massa harus dibebaskan dari keterpesonaan pada hegemoni budaya klas kapitalis sebelum perlawanan yang berhasil terhadap negara yang menindas itu bisa terjadi.
Sumbangan terbesar Gramsci untuk Marxisme adalah bahwa ia mensentralisasi apa yang ditulis Marx secara tersirat menjadi suatu ilmu Marxis tentang aksi politik. Gramsci melakukannyaa lebih dari sekedar pengenalan sederhana, bahwa politik adalah aktivitas otonom dalam konteks perkembangan sejarah kekuatan material. Baginya politik adalah pusat aktivitas manusia yang dengan kesadaran tunggal bersentuhan dengan alam dunia dan kehidupan sosial dengan segala bentuknya.[7]
Penelitian ini berangkat dari kerangka pemikiran diatas. Formulasi Gramsci tentang negara adalah masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni didukung oleh sarana penekan (masyarakat politik), tergambar pada bagimana kapitalis internasional dengan perangkat hegemoni-nya (propaganda neoliberalisme: pasar bebas, kompetisi dan pengetatan anggaran) di dukung dengan sarana penekannya (organisasi internasional, negara dengan kebijakan penekan dari keduanya) mempengaruhi pola tindakan serikat buruh dan Ornop, beserta pola hubungannya, dalam upaya membangun gerakan buruh di Indonesia.
Hubungan Ornop dan Serikat Buruh di Indonesia sebagai sebuah proses politik memiliki dua kecenderungan. Yang pertama adalah penguatan posisi buruh dalam skema hubungan industrial, juga pengakuan terhadap serikat buruh dalam mengelola dan terlibat dalam penetapan kebijakan perusahaan. Sementara yang kedua justru melemahkan posisi tawar buruh dan mengalihkan kontrol gerakan buruh kepada alat pemilik modal : Negara atau Ornop atau bahkan kolaborasi keduanya.

Konteks Politik Pembangunan Organisasi, Syarat Material Pembangunan Organisasi Manajemen Organisasi , Program, Strategi dan Taktik Organisasi
1. Konteks Politik Pembangunan Organisasi
Serikat Buruh di Indonesia, terangsang pembangunannya apabila dia berada di dalam situasi politik yang revolusioner, massif dan penuh percepatan. Hal ini bisa kita lihat dari sejarah kemunculan serikat buruh pada jaman kemerdekaan, yaitu seiring dengan semangat dan situasi yang revolusioner menuntut kemerdekan dari kolonialisme. Contoh yang lain adalah kemunculan dua serikat buruh independen yang paling berpengaruh di era Soeharto yaitu SBSI dan PPBI (kini FNPBI) yang muncul ketika pemogokan pabrik sedang full-swing di berbagai daerah.
Berbeda halnya dengan Ornop. Kebanyakan Ornop di Indonesia terbentuk dari situasi politik yang telah memasuki tahap anti-klimaks, dimana masih ada ruang demokrasi (public sphere) meskipun kecil, dan situasinya tidak kondusif untuk melakukan serangan politik secara terbuka kepada negara[8].
Memang beberapa pendapat ahli dan aktivis social menyebutkan bahwa untuk kasus Indonesia keberadaan ornop justru membantu radikalisasi gerakan[9]. Sebagian ornop fungsi sebagai ruang isolasi bagi kaum revolusioner, untuk tetap mempertahankan intensitas kerja revolusioner bila kondisi politik mengalami demokrasi yang menyempit. Yang menjadi masalah kemudian adalah, ukuran demokrasi menyempit atau tidaknya, baik dari ornop maupun serikat buruh berbeda takarannya. Apabila perbedaan ini tidak dapat dipecahkan, baik dalam sebuah discourse ataupun action, maka yang akan terjadi adalah situasi saling tidak berhubungan, membiarkan. Dalam titik ekstrem situasi saling membiarkan tersebut bisa berubah menjadi saling menghilangkan (negasi). Tapi dalam hal ini jarang terjadi, kecuali masuk kedalam arena politik yang secara vis a vis berlawanan secara diametral, misalnya: pemilu.Tetap saja dalam riil politik, situasi yang tidak sinergis diatas harus dipecahkan menjadi sebuah konfugurasi politik alternatif, dimana gerakan buruh mendapatkan muaranya.

2. Syarat Material Pembangunan Organisasi
Serikat Buruh memiliki karakter yang tegas dalam pembangunannya. Dia merupakan alat yang lahir dari kepentingan kelompoknya: buruh. Ketika sebagian atau seluruh buruh di sebuah perusahaan menginginkan berdirinya sebuah organisasi di tempat kerjanya, maka selayaknya berdirilah sebuah serikat buruh disana. Memang pada era Orde Baru Serikat Buruh secara sistematis dimatikan fungsi dan perannya dalam proses demokrasi, lewat penetapan UU serikat buruh, kooptasi langsung kepentingan negara terhadap serikat (SPSI) bahkan dengan represi sekalipun (TNI/Polri). Tapi hal ini tidak mengurangi keinginan buruh untuk mencari sekaligus membentuk organisasi yang sejatinya menjadi alat perjuangan kepentingannya, lewat pemogokan-pemogokan[10]. Secara materil logika ini bisa dibenarkan karena mau tidak mau serikat buruh harus mempertanggungjawabkan perannya kepada anggota karena secara finansial serikat buruh sangat tergantung dengan iuran anggotannya.
Berbeda halnya dengan ornop. Pada umumnya ornop diisi oleh kalangan menengah yang memang tidak memiliki dasar kepentingan yang abadi[11]. Keberpihakan kalangan ini pada perjuangan buruh seringkali hanya berdasar pada dorongan simpati tetapi tidak memiliki dasar argumentasi yang ideologis[12]. James Petras dalam bukunya Globalization Unmasked : Imperialism in 21st Century menyebutkan[13]: “…..Sekarang ini setidaknya ada 50.000 ornop di Dunia Ketiga yang menerima total dana lebih dari 10 miliar dollar Amerika dari lembaga-lembaga keuangan internasional, agen-agen pemerintah Eropa, Amerika dan Jepang serta pemerintah-pemerintah lokal. Para manajer ornop terbesar mengelola anggaran-anggaran jutaan dollar amerika dan menerima gaji dan rembesan uang yang sebanding dengan gaji CEO. Mereka mengikuti konferensi-konferensi internasional, berunding dengan para direktur utama keuangan dan bisnis, serta membuat keputusan yang mempengaruhi –dalam mayoritas kasus besar, yang terjadi justru sebaliknya – jutaan kaum miskin, perempuan dan buruh sektor informal.”
Disinilah ornop-ornop digambarkan memistifikasi sekaligus menyingkirkan ketidakpuasan rakyat tersebut agar tidak langsung menyerang struktur-struktur kekuasan dan keuntungan perusahaan atau perbankan. Dari sini juga tergambarkan ornop menangani proyek-proyek kecil lokal, eksploitasi diri ‘akar rumput’ yang apolitis dan pendidikan rakyat yang menghindari analisa kelas atas imperialisme dan peolehan keuntungan dari mencuri nilai lebih tenaga kerja. Yang menjadi masalah adalah, karena keterbatasan sumber daya material (sumber daya profesional progresif dan dana perjuangan), banyak serikat buruh yang menggantungkan diri pada langkah gerak ornop, yang terjadi kemudian adalah serikat buruh menjadi tercerabut dari akar perjuangan kelasnya.[14]
3. Manajemen Organisasi
Berdasarkan uraian diatas, kita bisa melihat bahwa watak demokratik dari serikat buruh sesunguhnya tidak setengah-setengah. Dibangun dari kebangkitan politik rakyat secara massal, menuju pengaturan kerja sistematis yang simultan berupa aksi massa, pemogokan, pertemuan-pertemuan akbar dan iuran. Seringkali yang menjadi kegamangan demokratik dari serikat buruh adalah ketika berhadapan dengan percepatan situasi politik – baik di dalam tempat kerjanya, maupun diluar tembok pabrik – yang mengharuskan sebuah serikat buruh memposisikan dirinya[15]. Ditambah dengan jamaknya pragmatisme pengurus serikat yang berwatak formalis seringkali serikat buruh diatur oleh pengurusnya dengan cara sentralistik yang mematikan inisiatif pembangunan kesadaran sejati anggotanya[16]. Dalam banyak babak perkembangan gerakan serikat buruh, upaya paling mutakhir untuk menjawab permasalahan diatas sesungguhnya sudah coba dijawab oleh aktivis PRD yang bekerja di sektor buruh (membangun FNPBI). Upaya tersebut adalah dengan mempraktekan Sentralisme Demokrasi[17] dalam serikat buruh. Meski apa yang telah dipraktekan oleh kader-kader PRD adalah upaya yang terbaik yang bisa dikerjakan oleh sekelompok intelektual organik, tapi masih banyak kekurangannya bagi pengembangan gerakan buruh yang sejati. Seperti yang diungkapkan oleh Dita Indah Sari, Ketua umum FNPBI[18]:
“The unions and workers that join FNPBI were not radicals like the PRD-affiliated founders of the union. Mostly they are workers who have heard our name and agree with our opinions. Or they are workers who have helped who are greatful, thankful and comfortable with our organization.”

Struktur sendem yang dipraktekkan oleh FNPBI memiliki kemampuan untuk menampung kerja harian serikat buruh yang dibutuhkan untuk benar-benar bekerja di tengah-tengah massa. Memang harus diakui FNPBI bukan serikat buruh yang terbesar di Indonesia, tapi praktek tersebut merupakan jawaban sekaligus kritik terhadap serikat buruh yang bermassa lebih besar, tapi tidak sanggup melibatkan massanya dalam aktivitas keseharian serikat buruh, seperti SPSI maupun serikat independen semisal SBSI
Berbeda halnya dengan ornop, dimana organisasinya di atur dalam langgam kerja sebuah badan usaha. Didalamnya ada dewan direktur (board of director), eksekutif harian, kordinator kerja berdasar lingkup tema kerja, dan aktivisnya. Seringkali ornop disebut sebagai perusahaan nir laba. Jauhnya aktivitas harian ornop dari keseaharian permasalahan massa, menjadikan manajemen organisasi ornop sangatlah ringkas dan membentuk regularitas yang monoton. Bahkan banyak sekali ornop di Indonesia yang hanya bersentuhan dengan tema sosial, tidak bersentuhan sama sekali dengan massa. Mereka biasanya memposisikan diri sebagai think-thank, yang kemudian menjual hasil kerjanya kepada lembaga-lemabaga pendonor. Sehingga tidak jarang kita mendengar ornop sebagai organisasi kepanjangan tangan pemerintah atau pemilik modal[19].
Liberalitas organisasi diatur berdasarkan target-target laporan dan rapat-rapat. Memang ada beberapa ornop yang bergerak langsung mengorganisasi massa. Tapi jumlah mereka hanya sedikit, dan biasanya mereka tidak sepenuhnya bertanggungjawab kepada massa layaknya serikat buruh. Melainkan mereka bertanggungjawab pada board of director atau pimpinan proyek yang memberi tugas. Netralitas keberpihakan lewat hasil-hasil penelitan yang partisipatif sekalipun masih sangat kentara. Padahal masalah rakyat tidak akan pernah selesai ketika penelitian dinyatakan selesai.
Baik ornop maupun serikat buruh di Indonesia menghadapi masalah besar organisasi ketika menghadapi gerakan massa yang luas, terutama buruh. Tak sedikit dari upaya kerjasama yang dilakukan antara ornop dan serikat buruh lewat forum-forum ataupun pembangunan organisasi bersama seperti front menghadapi kebuntuan. Tak sedikit dari organisasi bersama tersebut ‘bubar di tengah jalan’ lantaran keduanya punya hambatan memadukan kerja massa dengan prioritas program organisasi yang ditetapkan. Mengenai hal ini akan dipaparkan pada sub-bab berikut ini.


4. Program, Strategi dan Taktik Organisasi
Masalah mendasar mengenai program, strategi dan taktik organisasi adalah turunan dari problem-problem mendasar diatas. Masalah ini meliputi semua aktualisasi kerja ornop maupun serikat buruh terhadap pengembangan gerakan buruh. Mengenai masalah ini akan ditelusuri lebih dalam di bab 4, hanya saja yang menjadi catatan penulis pada sub-bab ini adalah bahwa perbedaan program, strategi dan taktik organisasi ini sangat sulit untuk dijadikan sebuah pembicaraan yang dialogis diantara serikat buruh maupun ornop. Karena pada prakteknya diantara keduanya masih terjadi hubungan mutualisme yang saling membutuhkan[20]. Apalagi sangat sedikit dari ornop maupun serikat buruh yang langsung memiliki afiliasi politik, sehingga perdebatan diantara keduanya mengenai hal ini dianggap sesuatu yang absurd, tidak prioritas dan dianggap tahu sama tahu.
Kekhususan dari hubungan serikat buruh dan ornop di Indonesia harus dipahami sebagai kesatuan organik dari operasi gerak modal secara global. Seperti apa operasi gerak modal (atau yang lebih dikenal sebagai neoliberalisme) ini di Indonesia. Dengan begitu kita dapat memetakan, bagaimana posisi dari serikat buruh dan Ornop di Indonesia yang sudah dicengkram neoliberalisme.
Dengan mengangkat tema masyarakat sipil , orang-orang ornop mengaburkan pembagian kelas, eksploitasi kelas dan perjuangan kelas yang mempolarisasikan ‘masyarakat’ sipil kontemporer. Konsep masyarakat sipil mempermudah kolaborasi ornop dengan para kapitalis yang mendanai lembaga-lembaga mereka dan mengijinkan mereka untuk mengarahkan proyek-proyeknya ke dalam hubungan-hubungan subordinat pada kepentingan bisnis besar yang mengendalikan ekonomi neoliberal.

Konsep hegemoni Gramsci sebenarnya dapat dielaborasi melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas
[21]:
“Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara: Pertama, sebagai dominasi. Kedua, sebagai kepemimpinan intelektual dan moral. Disatu pihak sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan bersenjata; dilain pihak, kelompok sosial tersebut memimpin kelompok-kelompok kerabat atau sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan salah satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika mempraktekkan kekuasaan, bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh ditangannya, dia masih terus ‘memimpin’ juga.”


James Petras berpendapat, setidaknya ada dua agenda penting yang harus menjadi perhatian penting dalam membangun ideologisasi dalam gerakan buruh beranjak dari hubungan ornop dan serikat buruh di Indonesia. Pertama, ketika mengarahkan kritik-kritiknya ke WTO, IMF dan World bank, serta mengkritik modal-modal spekulatif, kemiskinan dan sebagainya, ornop tidak memiliki basis yang terorganisasi diantara kaum pekerja dan petani, produsen langsung kekayaan dunia. Karena tidak memiliki jalinan organik dengan kelas-kelas ini beserta segi-segi kehidupannya, tidak sedikit dari ornop-ornop bekerja tanpa disertai analisa kelas atas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh banyak orang, maka tidak mampu menwarkan solusi yang efektif untuk melakukan perubahan sosial secara substansial. [22]
Kedua, serikat-serikat buruh tradisional, konfederasi-konfederasi buruh pemerintah, dengan beberapa pengecualian yang penting, telah beradaptasi dengan kebijakan neoliberal yang urgen dan tuntutan-tuntutan para konglomerat ekonomi. Petinggi-petinggi serikat buruh tersebut telah mengambil posisi vis-à-vis dengan negara, yang berarti mirip dengan hubungan antara raja-raja dan para bangsawan: mereka bersumpah setia kepada tatanan neoliberal dengan imbalan boleh mengusai tanah-tanahnya sendiri.[23]
Wilayah kesadaran merupakan hal yang utama bagi Gramsci untuk memperjuangkan klas bawah melawan kelas dominan. Namun ada pertanyaan yang muncul, bagaimana proses perubahan bisa terjadi, dalam arti klas pekerja memenangkan hegemoni kelas dominan (kapitalis-militeristik untuk kasus Indonesia)? Dalam ornop, faksi liberal dan faksi transformatif yang secara ideologi kontradiktif, masih ada.
Dalam konteks ekonomi neoliberal, keberadaan ornop, menjamin berlangsungnya sistem ekonomi baru ini. Organisasi ini mencabut, para intelektual progresif dari gerakan rakyat, menjadi para teknokrat ornop, yang menjual kemampuannya kepada lembaga donor.
Hegemoni neoliberal terhadap serikat buruh, secara tidak sadar dilakukan oleh Ornop. Oleh karenanya perjuangan revolusioner tidak hanya menaruh perhatian pada persoalan penggulingan rezim neoliberal, namun yang lebih penting adalah merebut perhatian dan pengaruh rakyat. Meskipun banyak kasus, isu ornop menentang kebijakan neoliberal tapi secara praktek, ia menerima dana dari luar negeri dan memisahkan gerakan rakyat dari gerakan politik. Gerakan serikat buruh dilihat sebagai gerakan ekonomi belaka dan tidak menyatukan buruh ke dalam perjuangan bersama yang lebih solid, Perbedaan kepentingan di antara ornop, membuat ornop menjadikan serikat buruh sebagai ‘barang jualan’ terhadap lembaga donor dan basis eksistensinya. Dampak negatif dari relasi ornop serikat buruh, terlihat dari makin terpecah-pecahnya serikat buruh.
Untuk mencapai relasi yang harmonis dalam rangka pembangunan gerakan buruh ke depan. Ornop harus mengubah dirinya menjadi anggota gerakan-gerakan sosio politik. Inilah jalan terbaik untuk menghindari generalisasi terhadap puluhan ribu ornop di dunia yang selama ini mengisi perut para pendonor. Keberadaan para akademisi, seharusnya juga bisa menjadi inteletual-intelektual yang bersatu dengan gerakan rakyat, sehingga bisa menjadi inteletual-intelektual yang organik.
Footnote
[1] Setiawan Bonnie, Organisasi Non Pemerintah dan masyarakat sipil. Dalam Prisma 7 Juli 1996 hal. 35
[2] Hadiz, Vedi R. Worker and the State in New Order Indonesia.1997 hal. 155
[3] seorang intelelektual dari Amerika Latin, yang meneliti perkembangan Ornop di Amlat selama 25 tahun terakhir. Hal tersebut diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Imperialisme abad 21. ibid
[4] op.cit La botz.hal 129
[5] ibid. Bocock. Hal 27
[6] Bellamy, Richard. 1987. Modern Italian Social Theory, From Pareto to the Present, Terjemahan oleh Vedi R. Hadiz. 1990. Teori Sosial Modern: Perpektif Itali. LP3ES. Jakarta. Hal 185.
[7] Carnoy, Martin. 1984. The State and Political Theory, Princeton University Press, New Jersey. Hal 65 disadur dari Patria, Nezar dan Arief, Andi. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 8-10
[8] ibid La Botz hal 269
[9] ibid La Botz hal 130
[10] lihat table hal 27
[11] Labour Education Center (LEC). Mei 2002. “Antara LSM dan Serikat Buruh”. Buletin LEC, nomor 7, Bandung. Hal 6
[12] ibid LEC, hal 6
[13] Kutipan ini diambil dari terjemahan buku Petras oleh Prihantoro, Agung. 2002. Imperialisme Abad 21. Kreasi Wacana, Jogjakarta. Hal 235.
[14] Memang kefakiran sanggup membawa orang menjadi kafir atas tugas sejarah perjuangan kelasnya
[15] SMERU. 2002. Hubungan iindustrial di jabotabek, Bandung dan Surabaya pada Era Kebebasan Berserikat. Laporan Penelitian, Jakarta. Hal 34
[16] ibid, Smeru. Hal 35
[17] Sentralisme Demokrasi (sendem) adalah sebuah mekanisme organisasi yang mencoba menggabungkan segi demokratis dan sentralisme dalam praktek keseharian organisasi yang memiliki basis perjuangan buruh. Sendem pertama kali dikenalkan oleh oleh Karl Marx dan Engels pada abad 19 di Kongres pertama Liga Komunis. Segi demokratis dari organisasi dibangun lewat laporan-laporan, keluhan dan kritik dari unit organisasi terendah kepada badan organisasi yang diatasnya langsung diterima oleh badan teratas (kongres). Keseharian organisasi dipimpin langsung oleh pengurus pusat (eksekutif) yang bertanggung jawab kepada kongres. Segi sentralistik dari organisasi di praktekan melalui instruksi-intruksi, arahan serta terbitan yang hanya dikeluarkan oleh eksekutif dari pusat hingga ke daerah-daerah. Semua badan organisasi berhak mengelurakan terbitan, tapi hanya ada satu organ sentral (terbitan) yang harus menjadi referensi utama ditiap level organisasi. Kunci Sukses dari praktek sendem dalam organisasi tergantung dari regularitas dan distribusi organ setral, karena hanya organ sentral-lah yang sanggup mengarahkan semua aktivitas revolusioner organisasi, dari aktivis pelopor (vanguard) hingga massa luas secara umum. Hal ini digambarkan secara rinci oleh V.I. lenin lewat tulisannya yang berjudul Tugas Mendesak Kita. Secara komprehensif sendem telah menjadi sebuah mekanisme yang utuh dari pengalaman organisasi revolusioner setelah V.I. Lenin mengeluarkan tulisannya : Struktur dan Mekanisme Kerja Partai Komunis, pada Kongres Partai Komunis Uni Soviet pada 1922, Moskow.
[18] op.cit, La Botz. Hal 246
[19] Budairi, Muhammad SH., M.Hum. 2002. “Masyarakat Sipil dan Demokrasi”. Kreasi Wacana, yogyakarta. Hal 90
[20] Catatan lainnya dari pengamatan penulis, saat ini memang semakin sering terjadi pertemuan untuk membicarakan masalah ini, tapi ruang lingkupnya masih tertutup sehingga secara ilmiah sulit untuk dipertanggungjawabkan. Dan intensitas pembicaraan ini seiring juga memanasnya situasi politik menjelang Pemilu 2004, dimana berbagai kalangan serikat buruh dan ornop semakin merasakan upaya restorasi kekuatan lama Orde Baru semakin nyata menyempitkan ruang demokrasi.
[21] Gramsci, Antonio. 1976. Selection from The Prison Notebooks, Quintin Hoare dan Nowell Smith (ed), international publisher, New York. Hal 57-58 disadur oleh dalam Patria, Nezar dan Arief, Andi. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 117
[22] Petras, James dan Veltmeyer, Henry. 2001. Imperialisme Abad 21. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Kreasi Wacana, Yogyakarta. Hal 308
[23] ibid. Petras. Hal 309

Tuesday, January 03, 2006

AKTIVIS-PENELITI

Peran peneliti atau bisa dikatakan intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama menjadi bahan perdebatan, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Tugas dari peneliti/intelektual adalah bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teoritis tersebut dalam masyarakat ataupun hal yang menjadi objek penelitiannya. Sebagian lain ada yang berpendapat bahwa intelektual seharusnya “turun ke bumi”, berpartisipasi langsung dalam proses perancangan dan perubahan sosial. Mengutip Gramsci, intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”. Sekedar contoh, perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar universitas yang melibatkan diri dalam penelitian-penelitian akademis, dan juga sebaliknya, makin banyaknya intelektual universitas yang melibatkan diri dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, perancangan sosial dan pengambilan kebijakan. Sementara itu Common enemy LSM tidak jauh berubah, yaitu kemiskinan, kebodohan (illeteracy), pengangguran, kerusakan lingkungan, sampai alienasi dan marginalisasi indegenous people.
Di Indonesia, karena kegelisahan akan canpur tangan negara yang terlalu besar dan mandulnya peran ilmuwan sosial dalam perubahan sosial, pada awal 1980-an sekelompok aktivis LSM dan mahasiswa yang sering terlibat dalam aksi-aksi sosial lokal mendirikan API (Asosiasi Peneliti Indonesia) dan memperkenalkan apa yang disebut Participatory Action-oriented Research, PAR (Penelitian Berhaluan Aksi Partisipatif). Sosiolog Ignas Kleden (1997) menyebutkan bahwa PAR memiliki empat kriteria. Pertama, jika dalam penelitian empiris orang-orang yang menjadi sasaran kajian tidak tahu-menahu dengan hasil-hasil temuan riset, maka dalam PAR orang-orang itulah justru yang pertama-tama harus tahu dan menggunakan hasil-hasil temuan tersebut. Kedua, orang-orang yang menjadi sasaran penelitian sosial harus tidak diperlakukan sebagai sasaran observasi ilmiah semata, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam penelitian tentang mereka itu sendiri. Ketiga, tujuan PAR bukanlah hanya untuk menghimpun data tentang kelompok orang-orang yang dikaji, tetapi untuk menanamkan pengertian yang lebih baik pada mereka, serta memelihara solidaritas terhadap mereka. Ini mengangdung arti bahwa pada analisis terakhir tujuan PAR tidaklah hanya pada meluasnya lembaga pengetahuan, tetapi pada mendorong aksi bagi perubahan sosial. Keempat, mengingat tujuan-tujuan khusus PAR tersebut, maka penguasaan metodologi penelitian saja belumlah cukup, melainkan harus dilengkapi dengan suatu komitmen sosial yang jelas.
Hubungan intelektual-peneliti dengan dunia luar seperti aktivis LSM (yang bergerak di bidang advokasi/pemberdayaan), mahasiswa, serikat buruh, menjadi penting walau tak selalu menentukan. “Kontak dengan dunia luar inilah yang melahirkan pemikiran alternatif,” katanya. Kalangan intelektual ini membawa pendidikan partisipatoris yang tidak sekadar memperkenalkan ide-ide tapi coba menggali dan mengembangkan pengetahuan yang ada di kalangan petani, rakyat, nelayan dan lainnya. Metode pedagog radikal Paulo Freire bertemu dengan kebiasaan kumpul dan ngobrol menghasilkan bermacam pemikiran dan langkah konkret baru menyelesaikan masalah. Dari proses pergulatan dengan realitas ini bermunculan – meminjam istilah Antonio Gramsci – intelektual organik yang berpijak di basis.
Ketika penelitian tersebut telah menghasilkan sebuha laporan, dan dirasa berguna, biasanya kemampuan menyebarluaskan dan menjadikannya bagian dari pengetahuan masyarakat sangat terbatas.
Jika pada tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.
Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial?
Itu hanyalah sebagian dari pekerjaan rumah “kritik diri” yang harus segera dikerjakan. Campur tangan negara dan kapitalisme global memang masih merupakan tantangan yang releven bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih perlu ditambah lagi dengan tantangan dari campur tangan lembaga-lembaga donor internasional), tetapi “kritik diri” adalah sebuah tantangan yang tak kalah penting dan tak kalah kompleksnya.