Thursday, July 07, 2005

Kapan Perempuan Mampu Membuat Sejarah (1)

Penguasaan akan wacana menjadikan dominasi laki-laki sebagai sesuatu yang alamiah dan bisa diterima. Pandangan laki-laki yang mendominasi wacana yang ada membuat segala sesuatunya didefinisikan oleh laki-laki. Male gaze merupakan pandangan (atau lebih tepat disebut dengan tatapan) laki-laki terhadap perempuan. Tatapan laki-laki terhadap perempuan bukanlah sekadar siapa memandang siapa sebagai apa dalam posisi netral. Namun, tatapan itu dipenuhi dengan berbagai kepentingan politis yang menguntungkan laki-laki, serta menempatkan perempuan sebagai obyek saja.
Wacana laki-laki mendikte cara berpikir, cara bertindak dan bahkan bahasa perempuan. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita 'merepresentasikannya'. Kesemua ini karena dalam dunia pemikiran dan berbahasa sudah terhegemoni oleh phallogocentrism (berasal dari phallus yang berarti alat kelamin laki-laki, logos yang merupakan bahasa dan sekaligus pemikiran, dan centrism yang berarti pusat).
Saussure dalam teori-teorinya melihat bahasa sebagai suatu sistem struktural untuk menganalisa semua proses kultural seperti cara memasak, cara berpakaian, sistem kekeluargaan, mitos dan legenda dalam masyarakat. Dalam bahsa dikenal konsep oposisi biner dimana dua hal dianggap selalu bertentangan dimana yang satu kuat dan yang satu lemah. Contohnya Maskulinitas dan feminitas dianggap dua kategori yang saling beroposisi
Dalam wacana pembangunan, pun berlaku hal yang sama dimana pembangunan selau diartikan sebagai milik laki-laki. Fakta sejarah yang telah berlaku adalah adanya pembagian kerja rumah tangga untuk perempuan dan aktivitas publik untuk laki-laki. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntungan terhadap perempuan Pembangunan sellau diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan publik dan oleh karenanya sekaan-akan pembanguan menjadi hak laki-laki untuk mendefiniskan dan merencanakannya. Akibatnya segala persoalan perempuan selalu dikaitkan sebagai hambatan dalam sebuah proses pembangunan.
Dalam menganalisa ketertindasan perempuan di dunia ketiga, Teori-teori pembangunan yang berkembang seperti teori sistem dunia memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi, terutama yang dialami perempuan di negara-negara berkembang sendiri. Kemudian terdapat juga teori hegemoni dan dependensi yang ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global. Kegagalan teori pembanguan tersebut harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis dimana terdapat referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan dan ketertindasan perempuan di sebagian Dunia Ketiga.
Pada tahun 80-an muncul teori pembangunan alternatif yang mencoba melibatkan perempuan dalam perencanaan pembangunan. Munculnya konsep WID (women in development) dan kemudian konsep GID (Gender in developmenat) tidak lepas dari peranan dan perjuangan para feminis. Namun pada prakteknya sejak konsep ini mulai dijalankan dan adanya departemen perempuan di PBB , tidak menyelesaikan masalah partisipasi perempuan dalam pembangunan. Perempuan bersama kelompok tertindas lainnya menjadi the silent majority atau mayoritas diam dalam pembangunan. Perempuan selalu menjadi korban dalam pembangunan, dimana kareana perannya dalam ruang domestik membuat perempuan terkungkung dalam dunianya. Sementara peremouan yang telah berhasil di dunia publik, dipaksa menanggung beban ganda bahwa ia harus berperan juga dalam urusan domestik apabila tidak mau mennerima cemoohan masyarakat sekitar. Sehingga akibatnya urusan publik lebih banyak ditangani oleh laki-laki.
Sejarah perubahan sosial ataupun pembanguna merupakan fakta yang juga harus dikaji dan dikritisi oleh kaum perempua karena pertanyaan yang muncul kemudian ialah siapa yang mengkonstruksi sejarah? Cara pandang siapa yang dipakai dalam memaknai suatu peristiwa? Sejarah manusia merupakan proses perjuangan yang berlangsung terus- menerus dimana pihak yang menaglah yang akhirnya akan muncul dalam sejarah, artinya pihak yang berkuasa akan membuat sejarahnya sendiri. Melalui pola-pola penciptaan cerita sejarah semacam inilah, yang tampaknya membuat perempuan sekadar obyek yang dibicarakan, dan bukan subjek yang berbicara penuh dengan kemampuannya. Ini berakibat kedudukan perempuan dalam sejarah tidak lebih sebagai pelengkap, dan bahkan acapkali sekadar berposisi dekoratif. Artinya perempuan sekadar hiasan dan pajangan yang tidak mempunyai kekuatan determinan untuk mengarahkan putaran roda sejarah. Ataupun dalam menentukan dan merencanakan sebuah perubahan sosial.
Lalu apakah penafsiran kembali sejarah ataupun wacana yang didengungkan oleh kalangan posmodernis bisa menghapuskan ketertindasan perempuan? Penafsiran kembali hanya dapat dilakukan apabila mampu melihat sejarah masa lau, karena proses dimasa lalu juga berlaku dalam masa kini.
Dalam kasus Indonesia, kita bisa melihat bagaimana ketidakberdayaan perempuan dalam menciptakan sejarah. Selama ini perempuan Indonesia selalu dianggap sebagai pelengkap belaka, terutama bila kita melihat hadirnya Dharma wanita di kalangan pegawai negeri sipil, dimana kedudukan perempuan dinilai berdasarkan kedudukan suami atau laki-laki yang mendampinginya. Kemudian munculnya Mega sebagai pemimpin perempuan pun ternyata tidak menyelesaikan bahwa perempuan mampu membuat sejarah. Mega selalu dikaitkan dengan nama besar ayahnya ataupun tokoh peng’ibu’annya yang harus selalu mengayomi, dan anggapan itu membuat perempuan terjebak juga dalam kultur patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia.


No comments: