Tuesday, January 03, 2006

AKTIVIS-PENELITI

Peran peneliti atau bisa dikatakan intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama menjadi bahan perdebatan, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Tugas dari peneliti/intelektual adalah bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teoritis tersebut dalam masyarakat ataupun hal yang menjadi objek penelitiannya. Sebagian lain ada yang berpendapat bahwa intelektual seharusnya “turun ke bumi”, berpartisipasi langsung dalam proses perancangan dan perubahan sosial. Mengutip Gramsci, intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”. Sekedar contoh, perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar universitas yang melibatkan diri dalam penelitian-penelitian akademis, dan juga sebaliknya, makin banyaknya intelektual universitas yang melibatkan diri dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, perancangan sosial dan pengambilan kebijakan. Sementara itu Common enemy LSM tidak jauh berubah, yaitu kemiskinan, kebodohan (illeteracy), pengangguran, kerusakan lingkungan, sampai alienasi dan marginalisasi indegenous people.
Di Indonesia, karena kegelisahan akan canpur tangan negara yang terlalu besar dan mandulnya peran ilmuwan sosial dalam perubahan sosial, pada awal 1980-an sekelompok aktivis LSM dan mahasiswa yang sering terlibat dalam aksi-aksi sosial lokal mendirikan API (Asosiasi Peneliti Indonesia) dan memperkenalkan apa yang disebut Participatory Action-oriented Research, PAR (Penelitian Berhaluan Aksi Partisipatif). Sosiolog Ignas Kleden (1997) menyebutkan bahwa PAR memiliki empat kriteria. Pertama, jika dalam penelitian empiris orang-orang yang menjadi sasaran kajian tidak tahu-menahu dengan hasil-hasil temuan riset, maka dalam PAR orang-orang itulah justru yang pertama-tama harus tahu dan menggunakan hasil-hasil temuan tersebut. Kedua, orang-orang yang menjadi sasaran penelitian sosial harus tidak diperlakukan sebagai sasaran observasi ilmiah semata, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam penelitian tentang mereka itu sendiri. Ketiga, tujuan PAR bukanlah hanya untuk menghimpun data tentang kelompok orang-orang yang dikaji, tetapi untuk menanamkan pengertian yang lebih baik pada mereka, serta memelihara solidaritas terhadap mereka. Ini mengangdung arti bahwa pada analisis terakhir tujuan PAR tidaklah hanya pada meluasnya lembaga pengetahuan, tetapi pada mendorong aksi bagi perubahan sosial. Keempat, mengingat tujuan-tujuan khusus PAR tersebut, maka penguasaan metodologi penelitian saja belumlah cukup, melainkan harus dilengkapi dengan suatu komitmen sosial yang jelas.
Hubungan intelektual-peneliti dengan dunia luar seperti aktivis LSM (yang bergerak di bidang advokasi/pemberdayaan), mahasiswa, serikat buruh, menjadi penting walau tak selalu menentukan. “Kontak dengan dunia luar inilah yang melahirkan pemikiran alternatif,” katanya. Kalangan intelektual ini membawa pendidikan partisipatoris yang tidak sekadar memperkenalkan ide-ide tapi coba menggali dan mengembangkan pengetahuan yang ada di kalangan petani, rakyat, nelayan dan lainnya. Metode pedagog radikal Paulo Freire bertemu dengan kebiasaan kumpul dan ngobrol menghasilkan bermacam pemikiran dan langkah konkret baru menyelesaikan masalah. Dari proses pergulatan dengan realitas ini bermunculan – meminjam istilah Antonio Gramsci – intelektual organik yang berpijak di basis.
Ketika penelitian tersebut telah menghasilkan sebuha laporan, dan dirasa berguna, biasanya kemampuan menyebarluaskan dan menjadikannya bagian dari pengetahuan masyarakat sangat terbatas.
Jika pada tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.
Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial?
Itu hanyalah sebagian dari pekerjaan rumah “kritik diri” yang harus segera dikerjakan. Campur tangan negara dan kapitalisme global memang masih merupakan tantangan yang releven bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih perlu ditambah lagi dengan tantangan dari campur tangan lembaga-lembaga donor internasional), tetapi “kritik diri” adalah sebuah tantangan yang tak kalah penting dan tak kalah kompleksnya.

1 comment:

Anonymous said...

apa yang kau jelaskan diatas memang sudah menjadi fakta di indonesia, apalagi ketika ngo/lsm semakin menjamur dan secara perlahan-lahan mulai mengambil pekerjaan "intelektual-riset' yang dulunya banyak dilakukan oleh universitas atau institut yang menjadi think tank organisasi. Dalam beberapa sisi, hal tersebut adalah positif karena akan menawarkan banyaknya jenis "bunga pemikiran, metode dan aksi" dalam memandang sebuah persoalan dan tidak lagi mesti lagi menganut sebuah doktrin tunggal pendekatan atas sebuah persoalan seperti kemarin-kemarin.

tetapi sayangnya, kehadiran ini juga masih menyisakan ruang yang berjarak antara rakyat yang menjadi tempat mereka meneliti dengan mereka itu sendiri. Mereka dengan "bangganya" datang ke tempat-tempat yang diobservasi dengan membawa metode berpikir mereka dan berusaha mengajarkan rakyat ini itu sesuai dengan konsep mereka padahal belum tentu itu yang dibutuhkan oleh rakyat. yang parahnya adalah mereka yang hanya datang kesebuah tempat, tinggal beberapa hari di situ, melakukan assesment, wawancara, pemetaan dll kemudian lahirlah sebuah buku yang menjadi refleksi daerah tersebut. Betapa bablasnya, hanya beberapa hari mereka kemudian bisa menjadikan kondisi-kondisi tertentu daerah dan segala pertarungannya dirangkum dalam beberapa hari sedangkan rakyat itu sendiri memperjuangkan selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. kondisi itu mengambarkan betapa rakyat adalah obyek dan mereka adalah tuan ilmu pengetahuan. apa bedanya dengan mereka dengan kelompok yang ditentangnya, yang selama ini dianggap mereka memarjinalkan rakyat, sedangkan mereka juga memmarjinalkan rakyat secara sadar.

dalam kenyataan di lapangan, frasa "aktivis-peneliti" sangat susah untuk ditemukan. Menurutku, mungkin frasa yang tepat untuk situasi sekarang adalah "peneliti (seolah-olah) aktivis". Memang dalam beberapa tempat, frasa "aktivis-peneliti" ada dan berbuat nyata. Tetapi yang paling banyak adalah "peneliti (seolah-olah) aktivis" yang berasal dari kota besar, ngo/lsm/universitas yang mendapatkan proyek dll. Orientasi mereka kemudian "berkunjung" ke daerah atas dasar proyek alias uang/gaji. Mereka kemudian banyak berbicara dan mengajarkan soal partisipasi dan keterbukaan kepada rakyat, sedangkan mereka sendiri tidak pernah bilang ke rakyat berapa gaji atau perdiem yang mereka dapatkan untuk menjadi pengajar atao peneliti ilmu tersebut ke rakyat. Mau gak mereka datang ke rakyat mengajarkan kesemuanya tanpa di bayar ato mengeluarkan uang sendiri?. setahuku, sangat sedikit yang lolos atas pilihan tersebut dan mereka lah yang layak menjadi "aktivis-peneliti". Dan mereka pulalah yang layak menjadi "intelektual organik" walaupun tidak pernah tulis buku tetapi riil bekerja di bawah, bukan kepada mereka yang menjadi "peneliti (seolah-olah) aktivis" yang kerjanya memotret, memantau, menganalisis dan menulis buku tetapi tidak pernah bekerja di bawah.


Salam

affan Banong
(affan_banong@yahoo.com)