Thursday, July 07, 2005

Tanah.....? (Catatan Demokrasi)


... tanah mestinya dibagi-bagi / Jika cuma segelintir orang yang
menguasai / bagaimana hari esok kaum tani
... tanah mestinya ditanami / sebab hidup tidak hanya hari ini / jika
sawah diratakan / rimbun semak pohon dirubuhkan / apa yang kita harap
dari cerobong asap besi?
(Wiji Thukul; Puisi Tanah, 1989 Solo)

Tanah merupakan suatu sumber penghidupan bagi manusia, tanah juga merupakan syarat dasar atau factor pokok berdirinya suatu negara Rakyat membutuhkan tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lainnya pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha ekonomi mereka dalam skala besar.
Konflik agraria, dalam hal ini konflik pertanahan telah menjadi issue strategis yang terbentuk secara sistematis, akibat kekuasaan negara (state) yang sangat dominan dengan melakukan hegemoni, eksploitasi dan politik agraria yang tidak berpihak kepada rakyat. Prinsip keadilan agraria yang menjadi sumber perjuangan rakyat petani, selalu saja dihadapkan dengan refresif negara yang menempatkan tanah serta sumber daya alam lainnya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Sehingga adagium yang menyatakan "tanah untuk petani" hanyalah fatamorgana dalam sejarah panjang perjuangan petani.
Sejak awal kemerdekaan yang merupakan awal berdirinya negara Indonesia yang berdaulat, karakter militer Indonesia nyata-nyata dibangun dari kepentingan modal yang menyertainya. Maka tak heran jika militer Indonesia hanya sekedar kesatuan pengaman modal belaka. Peran politik parlementer dari militer saat ini memang telah berkurang, namun peran ekonomi dan penguasaan teritorial yang sebenarnya menjadi inti kekuatan dari militerisme ini justru semakin menguat. Saat ini militer Indonesia tidak lagi berperan sebagai penjaga tanah negara namun lebih berfungsi sebagai penjaga tanah pemodal.
Orde baru mengawali kekuasannya dengan merampas hak-hak tanah rakyat untuk kepentingan investasi asing. Hal ini terlihat dari; Pertama, Tidak mengaktifkan UUPA 1960. Program landreform – yang berupaya menata penguasaan tanah (termasuk pemilikan tanah) dan pokok-pokok bagi hasil–tidak dijalankan. Kedua. Menghapuskan panitia landreform – baik nasional maupun lokal – yang mengandung partisipasi organisasi petani. Sebagai gantinya, landreform, Ketiga, Diundangkannya UUPD (Undang-Undang Pemerintahan Desa) 1979. Inilah pangkal militerisme, terlibatnya unsur polisi dan militer dalam pengawasan kehidupan pedesaan. Pihak militer memegang peran utama dalam konsolidasi dan usaha mempertahankan kekuasaan Orde Baru, sekaligus mempunyai kepentingan bisnis dalam ekonomi bangsa, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam sistem penegakan hukum yang seharusnya mengatur industri. Setidak-tidaknya di beberapa sektor, terdapat bukti bahwa tingkat keterlibatan pihak tentara dan polisi dalam bisnis belum berkurang secara nyata sejak Orde Baru berakhir.

Berdasarkan inventarisasi kasus-kasus sengketa agraria yang dilakukan Resource Center KPA, di seluruh Indonesia sejak tahun 1970 telah terjadi tidak kurang dari 1.920 kasus sengketa yang struktural sifatnya, yang mencakup luasan tidak kurang dari 10.512.938,41 hektar dan mengakibatkan tidak kurang dari 622.450 KK menjadi korban. Data juga menunjukkan, intensitas konflik yang tertinggi terjadi di propinsi Jawa Barat (506 kasus), DKI Jakarta (186 kasus), Sumatera Selatan (183 kasus), Jawa Timur (172 kasus) dan Sumatera Utara (169 kasus). Sedangkan jenis sengketa yang paling tinggi intensitasnya adalah sengketa tanah di lahan perkebunan atau yang berhubungan dengan perkebunan besar (430 kasus), pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (260 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (240 kasus), dan kehutanan produksi (159 kasus)[1].


Pembaruan Agraria seharusnya menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi dan sosial politik bangsa Indonesia. Tetapi, tantangan kolaborasi modal dan negara kian mengental yang ditandai penyusunan berbagai RUU sektoral. Gagasan awal sejumlah RUU ini didorong kepentingan kaum neo-liberal yang menghendaki privatisasi dan liberalisasi tanah dan kekayaan alam milik bangsa Indonesia guna kepentingan kapitalisme global. Sejumlah RUU kini tengah antre menunggu pembahasan dan pengesahan, seperti RUU Perkebunan, RUU Sumber Daya Air, RUU Sumber Daya Genetika, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU Pertambangan, RUU Perikanan, RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan aneka rancangan perundang-undangan lainnya.

Sementara itu, gerakan petani, sebagai bagian dari gerakan social telah mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam perlawanannya untuk menuntut hak-haknya. Sejarah mencatat hampir semua kasus pertanahan selalu diatasi dengan cara-cara militeristik dengan menghadapkan kaum tani dengan kekuatan bersenjata. Yah..kaum tani Indonesia adalah bagian rakyat yang harus selalu berhadapan dengan kekuatan bersenjata yang menjadi penjaga dari pemilik tanah untuk memperjuangkan kepentingannya. Meskipu media melihat mahasiswa yang selalu bentok dengan tentara namun sesungguhnya di desa-desa kaum tani-lah yang paling sering berhadapan dengan militer. Tidak heran ketika banyak anak kaum tani yang bercita-cita menjadi tentara. Namun harus disadari yang dilawan bukanlah tentara tapi watak militerisme, yang telah menjelma bukan hanya pada pada kekuatan bersenjata namun juga menjadi kekuatan ekonomi dan politk.

Sidharta Chandra dan Douglas Kemen dalam tulisannya di jurnal World Politics (Oktober 2002) menyimpulkan bahwa posisi politik militer Indonesia saat ini justru lebih kuat dibandingkan dengan ketika militer berada di bawah Soeharto. Militer memperoleh kekuasaan politik yang penting dari perannya sebagai pembela hak milik atas pulau terpencil di Indonesia. Tidak heran sejak operasi militer di Aceh, belanja militer meningkat pesat, suara kritis politisi terhadap militer menghilang, agenda untuk memperkuat kontrol sipil atas militer terkatung-katung. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berlatar belakang militer bermunculan sebagai calon anggota legislatif dan calon presiden. Bahkan mereka yang pernah dituding harus bertanggung jawab dalam kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Kasus-kasus konflik agraria di Wonosobo, Garut, Cianjur, Ciamis, Tasikmalaya, Bulukumba, Muko-muko, Labuan Batu, Porsea, Sesepa Luwu, Manggarai, Lombok Tengah, Halmahera, dan Banyuwangi memperlihatkan pola-pola militeristiik yang digunakan untuk mejaga kepentingan pemodal. Penangkapan petani merupakan isu yang sudah sangat biasa terdengar (namun kurang diangkat oleh media) seperti yang terjadi di Subang dan Manggarai yang cukup menggema tahun ini.


Pada peringatan hari tani tanggal 24 September 2004 kemarin, kaum tani menuntut agar pemerintah menghentikan tindakan represif aparat dan menuntut dibebaskannya aktivis petani yang telah ditangkap dan dijerat hukum karena memperjuangkan kepentingan rakyat atas tanah dan kekayaan alam di Subang, Pangalengan, Banyumas.

Konflik tanah tidak akan berhenti hingga kapanpun bila selalu digunakan pendekatan represif. Agrarian reform akan menghadapai berbagai macam penghalang. Militerism termasuk salah satu penghalangnya. Untuk itu, dibutuhkan kekuatan gerakan rakyat demi menumpas penghalang sekaligus mencapai keadilan agraria.


Kaum tani Indonesia : Sokoguru pembebasan !


[1] Website KPA. Dianto Bachriadi. Konflik Agraria di Indonesia sejak Masa Orde Baru

1 comment:

Anonymous said...

sangat menarik, terima kasih