Wednesday, June 07, 2006

Peranan 'orang luar' dalam gerakan buruh Indonesia (Tinjauan Disertasi)

TINJAUAN DISERTASI:
Judul : NGO as Outside Intellectual: A History of Non Govermental Organizations’ Role in The Indonesian Labour Movement
Penulis : Michele Therese Ford (School of History and Politics University of Wollongong Australia)
Tahun : 2003, terdiri atas 8 Bab, 306 halaman, 38 halaman bibliografi, dan Appendix sebanyak 38 halaman yang terbagi dua bagian.

dimuat dalam:
Jurnal Perburuhan SEDANE Vol. 3, No.2, 2005

PERAN “ORANG LUAR” DALAM GERAKAN BURUH INDONESIA
Disertasi ini berusaha menggambarkan posisi dan sejarah NGO dalam gerakan buruh di Indonesia. Dalam disertasinya Ford mengkritik, betapa ambigunya aktivis NGO di Indonesia. Di satu sisi mereka ingin dan berusaha memberikan sumbangan yang berarti bagi gerakan buruh di Indonesia, namun di sisi lain mereka tetap berada di luar garis perjuangan buruh. Sementara itu indikator gerakan buruh di Indonesia selalu diasosiasikan dengan kekuatan serikat buruh baik dari kualitas keorganisasian dan kuantitas keanggotaan dari serikat buruh.Namun dengan perspektif sejarah yang apik, Ford menjelaskan mengapa sikap ambigu dan sikap keserikatburuhan terbentuk. Pembaca disertasi ini akan diajak kembali ke tahun-tahun dimana NGO baru terbentuk dan awal mula terbentuknya serikat-serikat buruh di Indonesia. Pemaparannya memperlihatkan bagaimana definisi buruh terorganisasi dan definisi gerakan dibangun secara historis untuk tidak melibatkan intelektual dan organisasi non-buruh dalam gerakan buruh sendiri. Wacana yang kuat berupa ‘serikat buruh adalah dari, oleh dan untuk buruh’ begitu menguat sehingga amat membatasi juga peran yang lebih jauh intelektual dalam serikat buruh. Wacana ini selain dikembangkan olek aktivis buruh juga dikembangkan oleh para intelektual yang membangun serikat buruh sendiri. Kritik Ford terhadap posisi NGO patut dipikirkan bersama sebagai reposisi peran NGO dalam gerakan buruh. Studi ini mencoba menganalisa peran NGO dalam gerakan buruh di Indonesia. Dalam level teoritis memberi perhatian pada pembangunan ide mengenai keterwakilan buruh dan dampak ide tersebut dalam praktek pengorganisasian buruh. Perhatian ini digali dengan melihat dua isu empiris. Pertama adalah relasi NGO dengan pekerja industrial, serikat buruh dan negara antara tahun 1991-2001. Kedua adalah kontruksi negara atas sejarah buruh, yang mendefinisikan relasi ini. Argumentasi tersebut dapat dilihat pada tiga bagian dari disertasi ini. Pertama, menggambarkan NGO sebagai aktor intelektual, namun tidak menjadi faktor/bagian yang absah dari serikat buruh. Kedua adalah konsepsi serikat buruh yang telah dideterminasi oleh paradigma internasional dari representasi buruh dan politik nasional. Ketiga adalah kemampuan NGO perburuhan dalam berkontribusi terhadap gerakan buruh. Penelitian Ford menemukan bahwa peran NGO dalam gerakan buruh tidaklah kecil. Pertanyaan utama yang diajukan dalam tesis ini adalah persoalan mengapa NGO perburuhan di Indonesia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai bagian yang absah (legitim) dari gerakan buruh terorganisir? Untuk menjawab pertanyaan ini, Ford menguraikan lagi relasi antara pekerja industri, NGO dan negara dalam masa Orde Baru dan sebelumnya. Bahkan dia juga melakukan studi tiga tahun pasca kejatuhan Soeharto.

Indonesia mempunyai sejarah panjang yang kaya akan maju-mundurnya gerakan buruh. Pengorganisasaian buruh dan gerakannya telah terdokumentasi sejak abad 19. Serikat buruh telah memainkan dalam gerakan nasionalis, dalam periode kolonial, dan di bawah Soekarno. Pada 1966-1967 ketika kudeta dan pembunuhan massal yang berhubungan dengan PKI, gerakan buruh diberangus sedemikian rupa karena dianggap berhubungan dengan PKI sebagai partai politik terlarang. Keadaan ini tidak memungkinkan buruh maupun rakyat pada umumnya bisa berorganisasi dengan bebas. Serikat buruh mulai memasuki episode baru ketika orde baru Suharto meningkat kekuatannya Pada babak ini ruang demokrasi yang makin menyempit, membuat beberapa kalangan kelas menengah mulai kegerahan dan mencari ruang-ruang yang memungkinkan untuk membangun organisasi rakyat sesuai teori-teori radikal yang dipelajari dalam lingkar-lingkar diskusi ataupun di bangku kuliah.
Adanya perdebatan konsep intelektual mengenai peran intelektual sendiri digambarkan dengan baik oleh Michele Ford (lihat halaman 106-146). Ia merujuk pada teori internasional, yaitu perdebatan antara peran intelektual yang dipakai Bernstein dan Lenin. Bila ditarik lebih jauh lagi, ini adalah perdebatan antara paham demokrasi sosial dan paham sosialis. Menurut Bernstein serikat buruh sangatlah diperlukan sebagai alat demokrasi. Sementara dalam perspektif Lenin, serikat buruh merupakan sekolah buruh untuk menjadi vanguard party (partai pelopor). Akibat pengertian tentang peran serikat buruh yang berbeda inilah maka berbeda pula cara pandang terhadap intelektual dalam gerakan buruh. Tidak ada spontanitas dalam visi Lenin, karena kesadaran sosialis yang dimasukkan pada perjuangan kelas proletariat tidak dapat muncul secara spontan. Artinya intelektual berfungsi untuk memasukkan kesadaran itu. Sementara itu, versi Kautsky untuk sosialis demokratik, buruh memperoleh pengetahuan dan pengalaman melalui keterlibatannya dalam serikat buruh dan kekuatan melalui solidaritas serikat buruh, bukan melalui orang luar (outsider). Bagi Lenin, intelektual revolusioner merupakan outsider yang membangun kesadaran buruh dari kesadaran keserikatburuhan dan spontanitas menuju kesadaran revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme dan membangun diktator proletariat di bawah arahan partai pelopor.
Selain perdebatan soal intelekual dan serikat buruh dari tokoh-tokoh sosialis, Ford juga mencoba merujuk pada Perlman, seorang akademisi dari Amerika yang menulis Teori Gerakan Buruh. Dalam bukunya, Perlman lebih memperlihatkan peran serikat buruh yang hanya bermain dalam isu normatif atau ekonomisitis. Peran serikat buruh adalah sebagai kelompok kepentingan dalam masyarakat industri. Pandangan lainnya, seperti dari John Commons (mentor Perlman yang merupakan pendiri Mazhab Winsconsin dalam perdebatan tentang hubungan industrial) punya harapan lebih jauh, bahwa serikat buruh bisa mempromosikan adanya demokrasi dalam industri. Seperti halnya Lenin, Perlman juga mendasarkan argumennya bahwa terdapat perbedaan mendasar antara mentalitas serikat buruh dengan mentalitas intelektual. Bagi Perlman ketidakcocokan antara kesadaran serikat buruh dengan mentalitas intelektual tidak memberikan tempat untuk tumbuhnya intelektual revolusioner. Namun kritik Perlman bukan ditujukan untuk aktivitas revolusioner Leninis. Ia menunjukkan dua tipe intelektual yang berkembang di Eropa, yakni Sosialis Kristen dan kaum akademisi.
Dengan menggunakan tipologi NGO perburuhan yang dibuat Vedi Hadiz dan Fauzi Abdullah, Ford mencoba memeriksa lagi tipologi yang telah dibuat terdahulu ini. Hadiz melihat NGO perburuhan dari paradigma yang digunakan NGO itu, yakni korporatis, liberal, dan radikal. Sementara Fauzi Abdullah membedakan ruang dimana NGO itu bergerak. Antara yang bergerak di ruang mikro dan ruang makro antara yang teknokratik dan yang berorientasi struktural. Dalam penelitiannya Ford melihat bahwa keberadaan NGO di perburuhan tidaklah lepas dari keberadaan aktivis serikat buruh sendiri. Ada yang dibangun oleh mantan serikat buruh, oleh buruh yang masih bekerja, NGO yang dibangun oleh gereja; ada juga NGO yang dibangun oleh mahasiswa dan yang dibangun atas dasar pemikiran feminis. Bila dilihat dari ruang geraknya, terdapat berbagai macam lagi yaitu yang bergerak untuk bantuan hukum, kegiatan pengorganisasian dan untuk penelitian atau bergerak di level kebijakan. Semua NGO tersebut mempunyai basis pembenaran/rasionalisasi mereka akan fungsi dan perannya terhadap gerakan buruh.
Dalam Bab terakhir Ford mencoba mengeksplorasi kerja-kerja aktivis NGO dalam membantu gerakan buruh. Para aktivis yang diwawancara Ford, percaya dan cukup yakin bahwa mereka telah melakukan kerja-kerja yang cukup signifikan, terutama di jaman Soeharto. Kerja-kerja yang dilakukan antara lain ialah menumbuhkan ruang demokrasi, termasuk di antaranya merangsang pertumbuhan organisasi buruh. Ford memaparkan juga beberapa kasus serikat buruh-serikat buruh alternatif yang terbangun pada masa itu beserta para pendirinya dan intelektual yang cukup berperan dalam proses berdirinya. Untuk mengeksplorasi semua hal tersebut, Ford dengan pendekatan historisnya mengurai keberadaan tersebut. Secara ekonomi politik dari deskripsi histories yang dipaparkan Ford, terlihat bahwa kelahiran banyak SB di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari intelektual NGO. Oleh karenanya dapat disimpulkan juga bahwa konflik yang terjadi di tubuh intelektual sendiri dengan sendirinya akan berakibat pada konflik kepentingan di antara serikat buruh. Konflik-konflik kepentingan inilah yang pasca jatuhnya Soeharto mulai menguat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus retaknya hubungan antara NGO dan serikat buruh yang dilahirkannya. Sebut saja di antaranya: SISBIKUM dengan GSBI dan YBP dengan SBJ, dan lain-lain. Keretakan-keretakan itu seperti mengingatkan kembali di mana peran NGO sesungguhnya. Pada diskusi mengenai tesis ini, Ford menantang serikat buruh untuk lepas saja dari NGO. Jawaban yang diberikan serikat-serikat buruh yang hadir sangat tidak tegas, semua mencoba mencari pembenaran dan rasionalisasi dari hubungan-hubungan yang mereka bangun dengan NGO, baik yang sebagai lembaga donor maupun yang bergerak di level penelitian, advokasi ataupun program aksi. Ada suatu ketergantungan yang tanpa disadari oleh serikat buruh terhadap NGO: berupa sumber dana, pengetahuan ataupun sumber daya lainnya. Dari pihak NGO sendiri, adanya hubungan dengan buruh ataupun serikat buruh di akar rumput disambut dengan tangan terbuka tanpa pretensi apa-apa dibandingkan pretensi yang dibangun ketika SB akan berhubungan dengan NGO. Meskipun harus diakui beberapa NGO juga melakukan pemilihan-pemilihan secara subyektif terhadap Serikat Buruh ataupun organisasi buruh yang menjadi jaringannya.
Mencari sebuah peran baru bagi LSM menjadi akhir bab dari disertasi ini. Dalam bagian ini Ford menantang NGO untuk bisa mereposisi dirinya. Bila di masa lalu NGO bisa berdiri mendampingi buruh namun sekarang buruh juga butuh ruang untuk bisa mengaktualisasikan dirinya. Keberadaan beberpa undang-undang yang memberi keterbukaan bagi buruh seharusnya bisa meningkatkan aktualisasi buruh, namun ruang keterbukaan yang telah mulai terbuka sejak masa pemerintahan transisi Habibie belum juga menunjukkan kemajuan kualitatif dari gerakan buruh. Tidak teraktualisasinya buruh juga didukung oleh media yang tidak mmefokuskan liputannya pada gerakan-gerakan demokratik seperti gerakan buruh. Pasca Soeharto isu buruh yang sering terliput oleh media bukan lagi soal demonstrasi atau aksi-aksi, namun beralih pada masalah-masalah perburuhan lainnya seperti buruh anak dan kasus-kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sementara NGO yang selama Orde Baru terbiasa menjadi wakil dari buruh, juga belum bisa melepaskan posisi itu, sehingga meskipun terliput oleh pers, yang muncul di media adalah wacana NGO bukan serikat buruh. Selain itu, persoalan yang juga muncul di dunia perburuhan adalah terfragmentasinya buruh ke berbagai serikat/organisasi, dan sayangnya lagi eksistensi dari banyaknya serikat/organsiasi ini pun hanya diketahui oleh kalangan pergerakan, antarserikat buruh, ataupun kalangan NGO sendiri, tetapi tidak oleh media. Media biasanya hanya mengangkat serikat/organisasi buruh yang cukup mapan. Ketika permsalahan perburuhan/konflik perburuhan sudah masuk ke level nasional, sudah sangat biasa bila yang menghadapi adalah kalangan NGO. Hal ini tidak dapat disalahkan namun tidak dapat dibenarkan juga. Keberadaan NGO yang selalu ada di kota besar dan banyak berhubungan dengan media memudahkan mereka untuk bisa lebih menarik pemberotaan dibandingkan bila serikat buruh berjuang sendiri. Satu-satunya titik tawar buruh bisa terliput oleh media ialah apabila serikat buruh sanggup mengerahkan ribuan massa ataupun bisa menghadirkan tokoh nasional yang cukup dikenal oleh media. Bahkan kolaborasi front antara serikat buruh dengan NGO lama kelamaan memudar dengan sendirinya. Sebutlah seperti KPKB (Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh), KASM (Komite Aksi Satu Mei), keberadaan front antara buruh dan NGO tidak juga bisa meredakan bias yang ada antara NGO dan serikat buruh. Belum usai persoalan itu masih juga diperkeruh oleh adu eksistensi antara serikat buruh satu dengan serikat buruh lainnya.
Sebagai sebuah karya akademik, harus diakui disertasi Ford ini sangat kaya akan literatur perburuhan Indonesia. Dalam bagian lampirannya dengan cukup sistematis Ford menggambarkan perjalanan sejarah gerakan buruh Indonesia dalam berbagai literature. Historiografi perburuhan yang dibuat Ford membantu kita menempatkan pada fase mana perkembangan gerakan buruh kita dalam literatur, baik akademis maupun yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi buruh. Namun demikian, sayang dalam disertasi ini Ford tidak menawarkan solusi yang menantang untuk dikerjakan bersama antara NGO dan serikat dalam gerakan buruh. Ford tidak menggambarkan lebih lanjut apa yang harus dilakukan bersama untuk mengurai persoalan keberadaan NGO dalam gerakan buruh, misalnya apakah diperlukan aliansi taktis atau harus mengarah kepada aliansi strategis. Pilihan-pilihan untuk mencapai majunya gerakan buruh tidak dijabarkan oleh Ford, padahal bila kita tilik data yang disajikannya cukup banyak dan cukup bisa memberikan beberapa alternatif-alternatif gerak bersama. Posisi Ford yang sangat akademis ini membuatnya tidak dapat memberikan solusi alternatif bagi hubungan tersebut.
Tetapi, bagaimanapun, harus diakui bahwa penggambaran sejarah yang terperinci tentang gerakan buruh di Indonesia yang dilakukan Ford merupakan data yang luar biasa yang memberikan sumbangan penting bagi dunia perburuhan dan dunia akademik Indonesia. Meski bagi saya kenetralan yang diambil Ford ini menjadi kelemahannya: kejeliannya dalam mengungkap sejarah tidak diikuti denganmemberikan rekomendasi atau solusi yang berarti bagi pilihan-pilihan gerak NGO dalam gerakan buruh Indonesia.

Ika Wahyu Priaryani, adalah alumnus Sosiologi UI. Kini bekerja sebagai peneliti sosial