Thursday, July 07, 2005

Perempuan dan Perubahan Sosial

Masuknya isu perempuan dalam wacana pembangunan dimulai pada tahun 1970-an, dimana gerakan feminisme memperjuangkan status kaum perempuan melalui konsep Women in Development-perempuan dalam pembangunan (WID). Pada dasarnya pendekatan WID ini banyak disuarakan oleh kalangan feminis liberal yang percaya bahwa bila perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, maka perempuan akan mendapatkan keadilannya di masyarakat. Asumsi seperti ini, melihat bahwa ketertinggalan perempuan dalam sebuah proses pembangunan adalah diakibatkan karena ketidaksiapan dari kaum perempuan sendiri untuk bersaing. Untuk mendukung pemikiran WID ini, pada tahun tersebut juga, banyak didirikan pusat-pusat kajian perempuan dan LSM yang berkonsentrasi pada pemberdayaan perempuan. Dominasi konsep WID ini juga melanda pemerintahan di dunia ketiga untuk mendirikan departemen Urusan peranan wanita (indonesia). Artinya. Wacana feminisme liberal ini menjadi mainstream bagi para aktivis perempuan di dunia ketiga. Mereka menganggap apabila sistemnya telah dibuka untuk memberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki, maka bila perempuan juga masih mengalami ketertinggalam itu merupakan kesalahan perempuan itu sendiri. Pendekatan ini gagal karena ternyata akses perempuan dalam proses pembangunan tidaklah sama. Terdapat perbedaan kelas pada kelompok perempuan sendiri yang membatasi akses perempuan miskin. Akhirnya pendekatan ini hanya menguntungkan kaum feminis liberal yang berasal dari kelas sosial atas dan berpendiidkan.
Satu dasawarsa kemudian , muncul konsep Women and Development-perempuan dan pembangunan(WAD). Konsep ini muncul dari wacana feminisme neo-marxis yang bertujuan melihat bahwa peran perempuan secara ekonomi sangat siginifikan. Pendekatan WAD berasumsi bahwa posisi perempuan akan lebib baik apabila struktur internasional menjadi lebih adil dan dalam hal ini pendekatan ini cenderung kurang mengindahkan sifat penindasan gender khusus perempuan[1]. Pendekatan ini hanya melihat penindasan dari struktur kelas tanpa melihat adanya budaya patriarki yang menindas perempuan.Untuk menyempurnakan, kemudian muncul pendekatan Gender and Development-gender dan pembangunan (GAD).
Analisis gender sebagai alat analisa sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender-bias gender-pen- yang mengakar dan tersembunyi seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan[2]. Bias gender ini umumnya dibaikan oleh banyak perencana pembangunan dan akibatnya banyak perempuan dirugikan akibat bias gender tersebut. Pembangunan di dunia ketiga yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi (kapitalisme-pen), menjadi isu gender karena model pembangunan tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan baik di ruang publik maupun privat. Moose juga menyatakan, bahwa dalam proses pembangunan, perempuan tidak hanya menderita akibat diskrimasi gender, namun juga karena relasi kelas, warna kulit, serta suku. Dalam pendekatan GAD ini, laki-laki dan perempuan dengan kuasa dan peran gender yang berbeda, tentunya juga memiliki kepentingan gender yang berbeda pula. Artinya, diperlukan upaya pemberdayaan bagi perempuan. Pemberdayaan ini pun tidak bersifat topdown seperti yang dilakukan oleh WID. Namun pemberdayaan dan bagaimana pemberdayaan dilakukan haruslah berasal dari perempuan itu sendiri. Pemberdayaan haruslah dilakukan dalam sudut pandang perempuan dan bukanlah dibuat oleh para intelektual. Relevansi antara gender dan pembangunan mencakup bagaimana merumuskan model pembangunan dari sisi perempuan. Pembangunan yang melibatkan perempuan tertindas dan bersifat down-top merupakan upaya-upaya untuk dapat melihat kebutuhan perempuan.Bila pembangunan dilihat sebagai upaya pembebasan manusia, maka pembangunan yang berperspektif gender akan dapat menuntaskan ketidakadilan yang dialami perempuan dan membebaskan.
Sepanjang tahun 2002 belum ada satupun program pembangunan Pemerintahan Megawati yang berpihak kepada kaum perempuan. Ya, dia memang perempuan tetapi dia tidak mempunya keberpihakan terhadap penderitaan dan penindasan yang di alami oleh kaum perempuan. Sebagai seorang presiden perempuan Megawati telah gagal berjuang bagi kaum perempuan.


[1] Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Hal.208
[2] Fakih, Mansour. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi.hal 170

2 comments:

Anonymous said...

Mba Ika, tulisan yg bagus sekali. Apakah mba Ika juga bisa menuliskan ttg Empowerment dan Feminism Epistemology? Terimakasih

Anonymous said...

Mba Ika, tulisan yg bagus sekali. Apakah mba Ika juga bisa menuliskan ttg Empowerment dan Feminism Epistemology? Terimakasih