Tuesday, July 19, 2005

Gerakan Buruh di Tengah Globalisasi Produksi

Pada tahun 1997, masih dengan keyakinan penuh, Direktur IMF Michel Camdessus mengatakan bahwa globalisasi menguntungkan bagi semua pihak termasuk buruh. Ia menunjuk pengalaman negara-negara industri baru (newly industrialized countries) seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Memang, jika kemajuan diukur semata-mata dari angka pertumbuhan, argumen pada pembela liberalisasi perdagangan dan penanaman modal ini dapat diterima. Tapi lain halnya jika pertumbuhan itu ditempatkan dalam kerangka perkembangan masyarakat secara umum. Dalam World Employment Report 1998-99, International Labour Organization (ILO) melaporkan bahwa pada akhir tahun 1998, sekitar satu milyar buruh atau sepertiga dari angkatan kerja dunia, berada pada posisi unemployed atau underemployed. Di Asia, tingkat pertumbuhan yang menakjubkan selama tiga dekade – dengan angka pertumbuhan rata-rata 8% per tahun – berjalan seiring dengan kondisi tenaga kerja yang justru semakin buruk.
Di dalam globalisasi dan juga agenda rezim dagang regional dan internasional, muncul strategi labour flexibilization yang merupakan respons pengusaha terhadap tekanan pasar yang semakin bebas dan kuat persaingannya. Menurut para pembela globalisasi kapitalis, strategi ini juga akan menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja lebih luas dengan menciptakan sistem kerja paruh-waktu (part time jobs), memudahkan negosiasi antara buruh dan perusahaan yang lebih fleksibel menghadapi tuntutan pasar, meningkatkan harkat buruh dengan membiarkan mereka bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak ketiga seperti serikat buruh, memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.
Namun, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kerja dan kehidupan buruh dalam globalisasi justru semakin merosot, terutama di negeri Dunia Ketiga. Strategi labour flexibility itu jelas menguntungkan perusahaan semata-mata dan berbagai 'keuntungan' bagi buruh yang disebutkan di atas, tidak pernah terjadi. Salah satu akibat dari pelonggaran hubungan kerja, yang menempatkan buruh dan posisi tawar yang sangat rendah, adalah mudahnya perusahaan melakukan pemecatan. Hal ini jelas terlihat dalam krisis yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dalam waktu kurang dari satu tahun, terjadi pemecatan massal di hampir semua sektor industri[1].
Gelombang pemecatan massal itu menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat serius. Letupan-letupan sosial yang melanda Indonesia sampai saat ini antara lain terjadi karena hancurnya sistem kesejahteraan sosial, termasuk perlindungan dan keamanan kerja (job security). Buruh yang dipecat pun umumnya tidak bisa kembali ke desa, karena proses industrialisasi yang berlangsung sejak tahun 1970-an melakukan penjarahan terhadap tanah-tanah rakyat dan memperkecil kesempatan kerja di desa. Dengan kemampuan dan kapasitas yang terbatas buruh terpaksa menjual tenaga kerjanya di tempat lain[2]. Persaingan mencari kerja yang tinggi dan downsizing di semua sektor berakibat sulitnya mendapatkan pekerjaan kembali sebagai buruh industri.
Sementara itu kehidupan buruh yang masih dipertahankan juga tidak membaik. Justru kehidupan mereka semakin terancam karena strategi labour flexibilization dan mekanisme pasar bebas yang hanya melayani kepentingan perusahaan. Dalam sebuah penelitian tentang penggunaan buruh kontrak di daerah industri Tangerang dan Surabaya, terungkap bahwa hampir semua (sekitar 90%) perusahaan yang diteliti menggunakan sistem kerja kontrak. Jumlah buruh kontrak ini bervariasi antara 10% sampai 90% dari keseluruhan jumlah buruh di masing-masing industri. Di sektor manufaktur ringan, seperti garmen dan tekstil, jumlah buruh kontrak dan tidak tetap jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Kecenderungan yang sama juga ditemui di beberapa negara Asia lainnya. Di Filipina misalnya, pada tahun 1992 ditemukan 73% pabrik telah menggunakan berbagai skema kerja yang fleksibel seperti itu.
Jenis dan sistem kerja kontrak, magang dan harian/borongan ini bervariasi dari satu industri ke industri lain. Masing-masing pabrik pun bisa menerapkan sistem kerja yang berbeda-beda, karena tidak ada aturan yang mengikat. Dalam sistem ini perusahaan tidak membuat kesepakatan kerja bersama (KKB) dengan buruh yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Buruh paling hanya menerima secarik kertas yang menyatakan mereka diterima untuk bekerja selama jangka waktu tertentu. Segala keputusan menyangkut hak dan kewajiban ada di tangan pengusaha. Di beberapa industri bahkan tidak ada kesepakatan tertulis apapun, dan buruh hanya menerima informasi tentang pekerjaan, hak dan tanggungjawabnya secara lisan dari mandor atau pihak yang merekrut.
Sistem ini sangat menguntungkan perusahaan, karena terlepas dari berbagai kewajiban yang harus dipenuhi jika menggunakan tenaga buruh tetap. Sementara bagi buruh, sistem itu senantiasa mengancam keamanan kerja (job security) karena dengan mudah hubungan kerjanya berakhir saat perusahaan tidak memerlukan tenaganya. Posisi tawarnya di hadapan pengusaha pun sangat rendah, karena kesepakatan kerjanya bersifat sementara. Untuk memulai atau memperpanjang kontrak, buruh terlebih dulu menerima persyaratan pengusaha yang tidak menguntungkan. Sistem kontrak ini juga bersifat individual, artinya langsung antara buruh yang bersangkutan dengan pihak perusahaan. Jika terjadi perselisihan, maka perusahaan hanya berhadapan dengan individu buruh, dan bukan dengan organisasi atau serikat buruh. Buruh kontrak, magang apalagi harian umumnya tidak tergabung dalam serikat buruh, sehingga sangat kesulitan untuk memperjuangkan kepentingannya. Di tingkat global, memang ada kecenderungan membangun industri yang de-unionized, di mana peran serikat buruh sangat dibatasi dan bahkan dihilangkan. Ikatan kerja dibangun langsung antara perusahaan dengan individu buruh, dengan dalih bahwa ikatan semacam itu 'lebih personal' dan menjamin kepentingan individu yang berbeda-beda.
Kemajuan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ini berkaitan secara langsung dengan resistensi buruh. Resistensi buruh ini berhubungan dengan struktur internal serikat buruh, dan ideologi pemimpin serikat buruh. Ketika serikat-serikat buruh mempunyai struktur-struktur yang demokratis, ketika para pemimpinnya melakukan perlawanan secara terorganisir, dan menganggap serikat buruh sebagai gerakan (bukan bisnis), serikat-serikat kerja menjadi lebih berhasil dalam meblokir implementasi kebijaka-kebijakan penyesuaian struktural dan agenda seutuhnya yang bersifat globalis, Di tengah tekanan kekuatan-kekuatan yang ada di atas, tidak ada pilihan lain bagi gerakan buruh selain melawan kerangka neoliberal secara kolektif, mebangun organisasinya lebih baik dan bekerjasama dengan lapisan dan sektor masyarakat lain yang juga dirugikan.

[1] Menurut laporan ILO tahun 1998, sampai akhir tahun tersebut sekitar 5,5 juta buruh dipecat, umumnya di sektor industri manufaktur ringan, konstruksi dan perdagangan. Menaker Theo Sambuaga sementara itu memperkirakan bahwa jumlah pengangguran pada akhir tahun 1998 akan mencapai sekitar 13,4 juta orang. (Kompas, 21/7/98).

[2] Mensos Justika Baharsjah misalnya menyebutkan sekitar 11.000 buruh perempuan yang dipecat semasa krisis terpaksa menjadi pekerja seks. (Pikiran Rakyat, 20 Juli 1998).

Thursday, July 07, 2005

Tanah.....? (Catatan Demokrasi)


... tanah mestinya dibagi-bagi / Jika cuma segelintir orang yang
menguasai / bagaimana hari esok kaum tani
... tanah mestinya ditanami / sebab hidup tidak hanya hari ini / jika
sawah diratakan / rimbun semak pohon dirubuhkan / apa yang kita harap
dari cerobong asap besi?
(Wiji Thukul; Puisi Tanah, 1989 Solo)

Tanah merupakan suatu sumber penghidupan bagi manusia, tanah juga merupakan syarat dasar atau factor pokok berdirinya suatu negara Rakyat membutuhkan tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lainnya pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha ekonomi mereka dalam skala besar.
Konflik agraria, dalam hal ini konflik pertanahan telah menjadi issue strategis yang terbentuk secara sistematis, akibat kekuasaan negara (state) yang sangat dominan dengan melakukan hegemoni, eksploitasi dan politik agraria yang tidak berpihak kepada rakyat. Prinsip keadilan agraria yang menjadi sumber perjuangan rakyat petani, selalu saja dihadapkan dengan refresif negara yang menempatkan tanah serta sumber daya alam lainnya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Sehingga adagium yang menyatakan "tanah untuk petani" hanyalah fatamorgana dalam sejarah panjang perjuangan petani.
Sejak awal kemerdekaan yang merupakan awal berdirinya negara Indonesia yang berdaulat, karakter militer Indonesia nyata-nyata dibangun dari kepentingan modal yang menyertainya. Maka tak heran jika militer Indonesia hanya sekedar kesatuan pengaman modal belaka. Peran politik parlementer dari militer saat ini memang telah berkurang, namun peran ekonomi dan penguasaan teritorial yang sebenarnya menjadi inti kekuatan dari militerisme ini justru semakin menguat. Saat ini militer Indonesia tidak lagi berperan sebagai penjaga tanah negara namun lebih berfungsi sebagai penjaga tanah pemodal.
Orde baru mengawali kekuasannya dengan merampas hak-hak tanah rakyat untuk kepentingan investasi asing. Hal ini terlihat dari; Pertama, Tidak mengaktifkan UUPA 1960. Program landreform – yang berupaya menata penguasaan tanah (termasuk pemilikan tanah) dan pokok-pokok bagi hasil–tidak dijalankan. Kedua. Menghapuskan panitia landreform – baik nasional maupun lokal – yang mengandung partisipasi organisasi petani. Sebagai gantinya, landreform, Ketiga, Diundangkannya UUPD (Undang-Undang Pemerintahan Desa) 1979. Inilah pangkal militerisme, terlibatnya unsur polisi dan militer dalam pengawasan kehidupan pedesaan. Pihak militer memegang peran utama dalam konsolidasi dan usaha mempertahankan kekuasaan Orde Baru, sekaligus mempunyai kepentingan bisnis dalam ekonomi bangsa, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam sistem penegakan hukum yang seharusnya mengatur industri. Setidak-tidaknya di beberapa sektor, terdapat bukti bahwa tingkat keterlibatan pihak tentara dan polisi dalam bisnis belum berkurang secara nyata sejak Orde Baru berakhir.

Berdasarkan inventarisasi kasus-kasus sengketa agraria yang dilakukan Resource Center KPA, di seluruh Indonesia sejak tahun 1970 telah terjadi tidak kurang dari 1.920 kasus sengketa yang struktural sifatnya, yang mencakup luasan tidak kurang dari 10.512.938,41 hektar dan mengakibatkan tidak kurang dari 622.450 KK menjadi korban. Data juga menunjukkan, intensitas konflik yang tertinggi terjadi di propinsi Jawa Barat (506 kasus), DKI Jakarta (186 kasus), Sumatera Selatan (183 kasus), Jawa Timur (172 kasus) dan Sumatera Utara (169 kasus). Sedangkan jenis sengketa yang paling tinggi intensitasnya adalah sengketa tanah di lahan perkebunan atau yang berhubungan dengan perkebunan besar (430 kasus), pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (260 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (240 kasus), dan kehutanan produksi (159 kasus)[1].


Pembaruan Agraria seharusnya menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi dan sosial politik bangsa Indonesia. Tetapi, tantangan kolaborasi modal dan negara kian mengental yang ditandai penyusunan berbagai RUU sektoral. Gagasan awal sejumlah RUU ini didorong kepentingan kaum neo-liberal yang menghendaki privatisasi dan liberalisasi tanah dan kekayaan alam milik bangsa Indonesia guna kepentingan kapitalisme global. Sejumlah RUU kini tengah antre menunggu pembahasan dan pengesahan, seperti RUU Perkebunan, RUU Sumber Daya Air, RUU Sumber Daya Genetika, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU Pertambangan, RUU Perikanan, RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan aneka rancangan perundang-undangan lainnya.

Sementara itu, gerakan petani, sebagai bagian dari gerakan social telah mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam perlawanannya untuk menuntut hak-haknya. Sejarah mencatat hampir semua kasus pertanahan selalu diatasi dengan cara-cara militeristik dengan menghadapkan kaum tani dengan kekuatan bersenjata. Yah..kaum tani Indonesia adalah bagian rakyat yang harus selalu berhadapan dengan kekuatan bersenjata yang menjadi penjaga dari pemilik tanah untuk memperjuangkan kepentingannya. Meskipu media melihat mahasiswa yang selalu bentok dengan tentara namun sesungguhnya di desa-desa kaum tani-lah yang paling sering berhadapan dengan militer. Tidak heran ketika banyak anak kaum tani yang bercita-cita menjadi tentara. Namun harus disadari yang dilawan bukanlah tentara tapi watak militerisme, yang telah menjelma bukan hanya pada pada kekuatan bersenjata namun juga menjadi kekuatan ekonomi dan politk.

Sidharta Chandra dan Douglas Kemen dalam tulisannya di jurnal World Politics (Oktober 2002) menyimpulkan bahwa posisi politik militer Indonesia saat ini justru lebih kuat dibandingkan dengan ketika militer berada di bawah Soeharto. Militer memperoleh kekuasaan politik yang penting dari perannya sebagai pembela hak milik atas pulau terpencil di Indonesia. Tidak heran sejak operasi militer di Aceh, belanja militer meningkat pesat, suara kritis politisi terhadap militer menghilang, agenda untuk memperkuat kontrol sipil atas militer terkatung-katung. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berlatar belakang militer bermunculan sebagai calon anggota legislatif dan calon presiden. Bahkan mereka yang pernah dituding harus bertanggung jawab dalam kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Kasus-kasus konflik agraria di Wonosobo, Garut, Cianjur, Ciamis, Tasikmalaya, Bulukumba, Muko-muko, Labuan Batu, Porsea, Sesepa Luwu, Manggarai, Lombok Tengah, Halmahera, dan Banyuwangi memperlihatkan pola-pola militeristiik yang digunakan untuk mejaga kepentingan pemodal. Penangkapan petani merupakan isu yang sudah sangat biasa terdengar (namun kurang diangkat oleh media) seperti yang terjadi di Subang dan Manggarai yang cukup menggema tahun ini.


Pada peringatan hari tani tanggal 24 September 2004 kemarin, kaum tani menuntut agar pemerintah menghentikan tindakan represif aparat dan menuntut dibebaskannya aktivis petani yang telah ditangkap dan dijerat hukum karena memperjuangkan kepentingan rakyat atas tanah dan kekayaan alam di Subang, Pangalengan, Banyumas.

Konflik tanah tidak akan berhenti hingga kapanpun bila selalu digunakan pendekatan represif. Agrarian reform akan menghadapai berbagai macam penghalang. Militerism termasuk salah satu penghalangnya. Untuk itu, dibutuhkan kekuatan gerakan rakyat demi menumpas penghalang sekaligus mencapai keadilan agraria.


Kaum tani Indonesia : Sokoguru pembebasan !


[1] Website KPA. Dianto Bachriadi. Konflik Agraria di Indonesia sejak Masa Orde Baru

Kapan Perempuan Mampu Membuat Sejarah (1)

Penguasaan akan wacana menjadikan dominasi laki-laki sebagai sesuatu yang alamiah dan bisa diterima. Pandangan laki-laki yang mendominasi wacana yang ada membuat segala sesuatunya didefinisikan oleh laki-laki. Male gaze merupakan pandangan (atau lebih tepat disebut dengan tatapan) laki-laki terhadap perempuan. Tatapan laki-laki terhadap perempuan bukanlah sekadar siapa memandang siapa sebagai apa dalam posisi netral. Namun, tatapan itu dipenuhi dengan berbagai kepentingan politis yang menguntungkan laki-laki, serta menempatkan perempuan sebagai obyek saja.
Wacana laki-laki mendikte cara berpikir, cara bertindak dan bahkan bahasa perempuan. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita 'merepresentasikannya'. Kesemua ini karena dalam dunia pemikiran dan berbahasa sudah terhegemoni oleh phallogocentrism (berasal dari phallus yang berarti alat kelamin laki-laki, logos yang merupakan bahasa dan sekaligus pemikiran, dan centrism yang berarti pusat).
Saussure dalam teori-teorinya melihat bahasa sebagai suatu sistem struktural untuk menganalisa semua proses kultural seperti cara memasak, cara berpakaian, sistem kekeluargaan, mitos dan legenda dalam masyarakat. Dalam bahsa dikenal konsep oposisi biner dimana dua hal dianggap selalu bertentangan dimana yang satu kuat dan yang satu lemah. Contohnya Maskulinitas dan feminitas dianggap dua kategori yang saling beroposisi
Dalam wacana pembangunan, pun berlaku hal yang sama dimana pembangunan selau diartikan sebagai milik laki-laki. Fakta sejarah yang telah berlaku adalah adanya pembagian kerja rumah tangga untuk perempuan dan aktivitas publik untuk laki-laki. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntungan terhadap perempuan Pembangunan sellau diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan publik dan oleh karenanya sekaan-akan pembanguan menjadi hak laki-laki untuk mendefiniskan dan merencanakannya. Akibatnya segala persoalan perempuan selalu dikaitkan sebagai hambatan dalam sebuah proses pembangunan.
Dalam menganalisa ketertindasan perempuan di dunia ketiga, Teori-teori pembangunan yang berkembang seperti teori sistem dunia memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi, terutama yang dialami perempuan di negara-negara berkembang sendiri. Kemudian terdapat juga teori hegemoni dan dependensi yang ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global. Kegagalan teori pembanguan tersebut harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis dimana terdapat referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan dan ketertindasan perempuan di sebagian Dunia Ketiga.
Pada tahun 80-an muncul teori pembangunan alternatif yang mencoba melibatkan perempuan dalam perencanaan pembangunan. Munculnya konsep WID (women in development) dan kemudian konsep GID (Gender in developmenat) tidak lepas dari peranan dan perjuangan para feminis. Namun pada prakteknya sejak konsep ini mulai dijalankan dan adanya departemen perempuan di PBB , tidak menyelesaikan masalah partisipasi perempuan dalam pembangunan. Perempuan bersama kelompok tertindas lainnya menjadi the silent majority atau mayoritas diam dalam pembangunan. Perempuan selalu menjadi korban dalam pembangunan, dimana kareana perannya dalam ruang domestik membuat perempuan terkungkung dalam dunianya. Sementara peremouan yang telah berhasil di dunia publik, dipaksa menanggung beban ganda bahwa ia harus berperan juga dalam urusan domestik apabila tidak mau mennerima cemoohan masyarakat sekitar. Sehingga akibatnya urusan publik lebih banyak ditangani oleh laki-laki.
Sejarah perubahan sosial ataupun pembanguna merupakan fakta yang juga harus dikaji dan dikritisi oleh kaum perempua karena pertanyaan yang muncul kemudian ialah siapa yang mengkonstruksi sejarah? Cara pandang siapa yang dipakai dalam memaknai suatu peristiwa? Sejarah manusia merupakan proses perjuangan yang berlangsung terus- menerus dimana pihak yang menaglah yang akhirnya akan muncul dalam sejarah, artinya pihak yang berkuasa akan membuat sejarahnya sendiri. Melalui pola-pola penciptaan cerita sejarah semacam inilah, yang tampaknya membuat perempuan sekadar obyek yang dibicarakan, dan bukan subjek yang berbicara penuh dengan kemampuannya. Ini berakibat kedudukan perempuan dalam sejarah tidak lebih sebagai pelengkap, dan bahkan acapkali sekadar berposisi dekoratif. Artinya perempuan sekadar hiasan dan pajangan yang tidak mempunyai kekuatan determinan untuk mengarahkan putaran roda sejarah. Ataupun dalam menentukan dan merencanakan sebuah perubahan sosial.
Lalu apakah penafsiran kembali sejarah ataupun wacana yang didengungkan oleh kalangan posmodernis bisa menghapuskan ketertindasan perempuan? Penafsiran kembali hanya dapat dilakukan apabila mampu melihat sejarah masa lau, karena proses dimasa lalu juga berlaku dalam masa kini.
Dalam kasus Indonesia, kita bisa melihat bagaimana ketidakberdayaan perempuan dalam menciptakan sejarah. Selama ini perempuan Indonesia selalu dianggap sebagai pelengkap belaka, terutama bila kita melihat hadirnya Dharma wanita di kalangan pegawai negeri sipil, dimana kedudukan perempuan dinilai berdasarkan kedudukan suami atau laki-laki yang mendampinginya. Kemudian munculnya Mega sebagai pemimpin perempuan pun ternyata tidak menyelesaikan bahwa perempuan mampu membuat sejarah. Mega selalu dikaitkan dengan nama besar ayahnya ataupun tokoh peng’ibu’annya yang harus selalu mengayomi, dan anggapan itu membuat perempuan terjebak juga dalam kultur patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia.


Pembangunan yang Membebaskan

Pembangunan seharusnya merupakan upaya membebaskan umat manusia dari keterkungkungannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Namun pakah pembangunan di Indonesia merupakan upaya pembebasan?
Amartya Sen mengungkapkan bahwa dalam pembangunan yang mebebaskan diperlukan instrumen pembebasannya. Instrumen pembebasan tersebut ialah; kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial,, jaminan transparansi dan keamanan. Instrumen pembebasan tersebut merupakan kapasitas umum dari manusia untuk hidup lebih bebas dan saling melengkapi satu sama lain. Kebebasan politik, merujuk pada kesempatan dimana rakyat berhak untuk menentukan siapa yang akan memimpin mereka dan dapat mengkritisi otoritas. Kebebasan politik juga mencakup kebebasan mengekspresikan politik, kebebasan pers, dan kebebasan memilih diantara banyak partai politik.
Fasilitas ekonomi , merujuk pada kesempatan dimana individu dapat mempergunakan sumberdaya ekonomi untuk konsumsi, produksi ataupun pertukarannya. Kesempatan sosial merupakan pengaturan dimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan perangkat lainnya untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Fasilitas ini juga ditujukan untuk meningkatkan partisiapsi dalam ekonomi dan aktivitas politik. Untuk mendukung kebebasan-kebebasan tersebut di atas juga diperlukan suatu jaminan transparansi dimana fasilitas atau instrumen tersebut dpaat dikases dan dipertanggungjwabkan kepada semua anggota masyarakat. Kemudian bila semua hal tersebut telah berjalan diperlukan perlindungan kemanan yang menjaga agar semua hal tersebut dapat berlangsung dengan lancar.
Demokrasi merupakan syarat dari sebuah proses pembangunan yang membebaskan. Di negara-negara sedang berkembang demokrasi berjalan tersendat-sendat bahkan seringkali tidak muncul dalam kehidupan berpolitiknya. Berdasarkan kategorisasi Hutington (1968) sistem politik di negara-negara berkembang disebut sebagai sistem politik tradisional. Terdapat dua konsep yang terkait dengan sistem politik tradisional, yaitu negara feodal dan negara birokratis, yang ditandai oleh pemusatan kekuasaan. Dalam kondisi demikian peluang tumbuhnya demokrasi kecil sekali. Faktor lain yang menghambat tumbuhnya demokrasi adalah budaya yang terbelakang dan penjajahan kolonial. Tiga hal yang menjadi syarat untuk terbentuknya atau tegaknya demokrasi, yakni faktor historis, tatanan sosial-ekonomi, dan budaya politik. Henry B Mayo (1960) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Democratic Theory dapat menjadi referensi. Mayo memberikan definisi sebagai berikut: "Sistem politik yang demokratis ialah sistem dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik". (A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom).
Pembangunan yang dilaksanakan indonesia lebih memusatkan diri pada pertumbuhan ekonomi yang dilihat pada hitungan makro berupa GDP dan GNP. Dinyatakan oleh Sen bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya akans ellau berkorelasi positif terhadap perumbuhan demokrasi. Namun pertumbuhan ekonomi tidak dapat berjalan lancar dalam suasana yang demokratis. Pertumbuhan ekonomi memerlukan kestabilan politik dan tingkat homogenitas politik yang tinggi. Dalam suasana demokrasi liberal, pertumbuhan ekonomi tidak dapat berjalan lancar. Untuk itu kita dapat melihat contok pembanguna ekonomi yang dilaksanakan Orde Baru. Dalam masa Orba, pembangunan ekonomi dijaga dengan kekuatan militer yang kuat sehingga trelihat stabil. Pertumbuhan partai politik dan pengekpresian politik dilarang dalam upaya menciptakan kestabilan untuk pertumbuhan ekonomi. Rakyat dibungkam untuk menuntut hak-haknya atas nama pembangunan ekonomi. Soedjatmoko (dalam Rusli Karim, 1998) menggunakan istilah modernizing bureaucratic state (MBS) untuk menyebut corak sistem politik dan pemerintahan di dunia ketiga, kecenderungan ke arah otoritarianisme dan sentralisasi begitu menonjol. Terdapat empat pengaruh yang muncul dari MBS: keinginan untuk terlaksananya pembangunan ekonomi yang cepat, tidak terhalang oleh percekcokan politisi berpandangan sempit dan mementingkan diri sendiri; pemikiran "unilinier" para teknokrat; pemikiran militer yang berorientasi misi; dan konsep tradisional tentang negara dan masyarakat.
Pertanyaan lanjutan dari hal-hal yang telah dipaparkan di atas adalah , siapa penyedia instrumen demokrasi dan siapa pelaksana pembangunan itu sendiri dalam sebuah negara. Pada konsep negara pembangunan, pengumpulan modal secara aktif dilaksanakan di bawah pimpinan negara atau borjuis dalam konteks negara otoriter (Budiman 1988): Negara dalam konsep ini mempunyai taraf otonomi yang tinggi. Sifat dan proses pembangunan negara-negara ini difahami secara teoretis oleh teori ekonomi neoklasik dan ekonomi institusionalis baru. Teori ekonomi neoklasik menegaskan pentingnya peranan pasar dalam penggunaan sumber daya ekonomi dan yakin bahwa pertumbuhan jangka panjang akan muncul dari kegiatan ekonomi jangka pendek. Pendekatan ini menitikberatkan pasar bebas, penswastaan perusahaan-perusahaan negara, promosi perdagangan bebas antarnegara, investasi asing, penghapusan peraturan pemerintah, perlindungan import untuk sektor-sektor tertentu, dan sebagainya. Korea Selatan, Taiwan dan Singapura dapat digolongkan sebagai negara pembangunan.
Kemudian tipe negara kedua adalah konsep Negara Kapitalis Birokratis. Konsep negara ini merujuk kepada negara dimana proses pengumpulan modal ditujukan untuk memperkaya birokrat-birokrat negara yang menggunakan kekuasaan birokrasi sebagai alat pengeluaran mereka (Budiman 1988 :112) Negara kapitalis birokratis terwujud dalam konteks ketergantungan ekonomi. yaitu dalam bentuk perdagangan antar negara dan pemindahan teknologi asing. Dalam ekonomi yang bergantung, pada awalnya, elit negara dan borjuis lokal mempunyai kepentingan bersama.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah menjalani dua tipe negara yang dipaparkan di atas. Masa dimana demokrasi liberal tumbuh hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan pada waktu itu terbukti tidak menyumbangkan suatu pertumbuhan ekonomi pada masanya. Kemudian di masa reformasi (transisi) sekarang, rakyat mulai menuntut kembali hak atas instrumen kebebasan yang seharusnya disediakan oleh pembangunan. Pertanyaan apakah pembangunan ekonomi atau demokrasi yang lebih didahulukan dalam pembangunan, mungkin seperti sebuah dilema. Namun untuk menuju sebuah masyrakat yang demokratis memang diperlukan kecukupan fasilitas ekonomi masyrakat baik secara kolektif maupun individual, karena dengan tingkat kehidupan ekonomi yang kurang akan sukar untuk menanamkan kesadaran politik pada massa rakyat. Namun teori ini terbantah dengan hasil penelitian di bawah ini.
Hubungan antara kehidupan ekonomi masyarakat dengan demokratisasi dapat dilihat pada survei Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI yang bekerja sama dengan Komite Pemberdayaan Pemilih selama satu minggu (21-28 Mei 1999) tentang rasionalitas politik pemilih miskin di Jakarta dan Surabaya (halaman 79-101) menunjukkan tingginya tingkat partisipasi politik, yaitu mencapai 97,1% dari 2000 orang dalam komunitas masyarakat miskin. Sebanyak 82,4% mendaftar sendiri, dan hanya 4,6% yang didaftarkan orang lain atau secara kolektif[1]. Persentase itu memberikan indikasi bahwa dalam Pemilu Juni 1999 upaya mobilisasi jauh berkurang, sehingga masyarakat miskin tidak lagi menjadi sasaran partai tertentu untuk melakukan mobilisasi secara massal. Kesadaran mendaftar sendiri ternyata juga dibarengi dengan kesadaran bahwa suatu pilihan politik merupakan hal mahal dan tidak mudah dipermainkan. Di situlah ketegaran politik kaum miskin Indonesia. Semakin ditekan, dipaksa, disuap dan dimobilisasi, semakin kecil pula pengaruhnya terhadap pilihan politik mereka. Justru survei di dua kota besar tersebut membuktikan bahwa pemberian informasi partai dengan cara persuasiflah yang lebih efektif mengubah pilihan politik pemilih miskin. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat ikatan kolektif pada masyarakat miskin indonesia yang masih cukup kuat ditambah lagi adanya nilai-nilai primordialisme dan patron yang kuat.
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa kehidupan ekonomi tidak selalu mempengaruhi demokratisasi. Kebebasan atau (demokrasi) juga belum tentu dapat menhasilkan suatu pertumbuhan ekonomi yang bagus (hal ini dapat dilihat dari sejarahnya). Karena demokratisasi bukanlah suatu hal yang dapat muncul begitu saja dengan determinasi suatu hal ,namun merupakan sebuah proses praksis yang semestinya dilakukan dalam proses kita bermasyarakat. Pengorganisasian dan pembentukan koletif-kolektif dalam masyrakat merupakan salah satu upaya pembelajaran demokratisasi.

[1] Valina Singka Subekti, Zulkifli Hamis. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI & Mizan, 2000

Perempuan dan Perubahan Sosial

Masuknya isu perempuan dalam wacana pembangunan dimulai pada tahun 1970-an, dimana gerakan feminisme memperjuangkan status kaum perempuan melalui konsep Women in Development-perempuan dalam pembangunan (WID). Pada dasarnya pendekatan WID ini banyak disuarakan oleh kalangan feminis liberal yang percaya bahwa bila perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, maka perempuan akan mendapatkan keadilannya di masyarakat. Asumsi seperti ini, melihat bahwa ketertinggalan perempuan dalam sebuah proses pembangunan adalah diakibatkan karena ketidaksiapan dari kaum perempuan sendiri untuk bersaing. Untuk mendukung pemikiran WID ini, pada tahun tersebut juga, banyak didirikan pusat-pusat kajian perempuan dan LSM yang berkonsentrasi pada pemberdayaan perempuan. Dominasi konsep WID ini juga melanda pemerintahan di dunia ketiga untuk mendirikan departemen Urusan peranan wanita (indonesia). Artinya. Wacana feminisme liberal ini menjadi mainstream bagi para aktivis perempuan di dunia ketiga. Mereka menganggap apabila sistemnya telah dibuka untuk memberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki, maka bila perempuan juga masih mengalami ketertinggalam itu merupakan kesalahan perempuan itu sendiri. Pendekatan ini gagal karena ternyata akses perempuan dalam proses pembangunan tidaklah sama. Terdapat perbedaan kelas pada kelompok perempuan sendiri yang membatasi akses perempuan miskin. Akhirnya pendekatan ini hanya menguntungkan kaum feminis liberal yang berasal dari kelas sosial atas dan berpendiidkan.
Satu dasawarsa kemudian , muncul konsep Women and Development-perempuan dan pembangunan(WAD). Konsep ini muncul dari wacana feminisme neo-marxis yang bertujuan melihat bahwa peran perempuan secara ekonomi sangat siginifikan. Pendekatan WAD berasumsi bahwa posisi perempuan akan lebib baik apabila struktur internasional menjadi lebih adil dan dalam hal ini pendekatan ini cenderung kurang mengindahkan sifat penindasan gender khusus perempuan[1]. Pendekatan ini hanya melihat penindasan dari struktur kelas tanpa melihat adanya budaya patriarki yang menindas perempuan.Untuk menyempurnakan, kemudian muncul pendekatan Gender and Development-gender dan pembangunan (GAD).
Analisis gender sebagai alat analisa sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender-bias gender-pen- yang mengakar dan tersembunyi seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan[2]. Bias gender ini umumnya dibaikan oleh banyak perencana pembangunan dan akibatnya banyak perempuan dirugikan akibat bias gender tersebut. Pembangunan di dunia ketiga yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi (kapitalisme-pen), menjadi isu gender karena model pembangunan tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan baik di ruang publik maupun privat. Moose juga menyatakan, bahwa dalam proses pembangunan, perempuan tidak hanya menderita akibat diskrimasi gender, namun juga karena relasi kelas, warna kulit, serta suku. Dalam pendekatan GAD ini, laki-laki dan perempuan dengan kuasa dan peran gender yang berbeda, tentunya juga memiliki kepentingan gender yang berbeda pula. Artinya, diperlukan upaya pemberdayaan bagi perempuan. Pemberdayaan ini pun tidak bersifat topdown seperti yang dilakukan oleh WID. Namun pemberdayaan dan bagaimana pemberdayaan dilakukan haruslah berasal dari perempuan itu sendiri. Pemberdayaan haruslah dilakukan dalam sudut pandang perempuan dan bukanlah dibuat oleh para intelektual. Relevansi antara gender dan pembangunan mencakup bagaimana merumuskan model pembangunan dari sisi perempuan. Pembangunan yang melibatkan perempuan tertindas dan bersifat down-top merupakan upaya-upaya untuk dapat melihat kebutuhan perempuan.Bila pembangunan dilihat sebagai upaya pembebasan manusia, maka pembangunan yang berperspektif gender akan dapat menuntaskan ketidakadilan yang dialami perempuan dan membebaskan.
Sepanjang tahun 2002 belum ada satupun program pembangunan Pemerintahan Megawati yang berpihak kepada kaum perempuan. Ya, dia memang perempuan tetapi dia tidak mempunya keberpihakan terhadap penderitaan dan penindasan yang di alami oleh kaum perempuan. Sebagai seorang presiden perempuan Megawati telah gagal berjuang bagi kaum perempuan.


[1] Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Hal.208
[2] Fakih, Mansour. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi.hal 170