Wednesday, June 07, 2006

Peranan 'orang luar' dalam gerakan buruh Indonesia (Tinjauan Disertasi)

TINJAUAN DISERTASI:
Judul : NGO as Outside Intellectual: A History of Non Govermental Organizations’ Role in The Indonesian Labour Movement
Penulis : Michele Therese Ford (School of History and Politics University of Wollongong Australia)
Tahun : 2003, terdiri atas 8 Bab, 306 halaman, 38 halaman bibliografi, dan Appendix sebanyak 38 halaman yang terbagi dua bagian.

dimuat dalam:
Jurnal Perburuhan SEDANE Vol. 3, No.2, 2005

PERAN “ORANG LUAR” DALAM GERAKAN BURUH INDONESIA
Disertasi ini berusaha menggambarkan posisi dan sejarah NGO dalam gerakan buruh di Indonesia. Dalam disertasinya Ford mengkritik, betapa ambigunya aktivis NGO di Indonesia. Di satu sisi mereka ingin dan berusaha memberikan sumbangan yang berarti bagi gerakan buruh di Indonesia, namun di sisi lain mereka tetap berada di luar garis perjuangan buruh. Sementara itu indikator gerakan buruh di Indonesia selalu diasosiasikan dengan kekuatan serikat buruh baik dari kualitas keorganisasian dan kuantitas keanggotaan dari serikat buruh.Namun dengan perspektif sejarah yang apik, Ford menjelaskan mengapa sikap ambigu dan sikap keserikatburuhan terbentuk. Pembaca disertasi ini akan diajak kembali ke tahun-tahun dimana NGO baru terbentuk dan awal mula terbentuknya serikat-serikat buruh di Indonesia. Pemaparannya memperlihatkan bagaimana definisi buruh terorganisasi dan definisi gerakan dibangun secara historis untuk tidak melibatkan intelektual dan organisasi non-buruh dalam gerakan buruh sendiri. Wacana yang kuat berupa ‘serikat buruh adalah dari, oleh dan untuk buruh’ begitu menguat sehingga amat membatasi juga peran yang lebih jauh intelektual dalam serikat buruh. Wacana ini selain dikembangkan olek aktivis buruh juga dikembangkan oleh para intelektual yang membangun serikat buruh sendiri. Kritik Ford terhadap posisi NGO patut dipikirkan bersama sebagai reposisi peran NGO dalam gerakan buruh. Studi ini mencoba menganalisa peran NGO dalam gerakan buruh di Indonesia. Dalam level teoritis memberi perhatian pada pembangunan ide mengenai keterwakilan buruh dan dampak ide tersebut dalam praktek pengorganisasian buruh. Perhatian ini digali dengan melihat dua isu empiris. Pertama adalah relasi NGO dengan pekerja industrial, serikat buruh dan negara antara tahun 1991-2001. Kedua adalah kontruksi negara atas sejarah buruh, yang mendefinisikan relasi ini. Argumentasi tersebut dapat dilihat pada tiga bagian dari disertasi ini. Pertama, menggambarkan NGO sebagai aktor intelektual, namun tidak menjadi faktor/bagian yang absah dari serikat buruh. Kedua adalah konsepsi serikat buruh yang telah dideterminasi oleh paradigma internasional dari representasi buruh dan politik nasional. Ketiga adalah kemampuan NGO perburuhan dalam berkontribusi terhadap gerakan buruh. Penelitian Ford menemukan bahwa peran NGO dalam gerakan buruh tidaklah kecil. Pertanyaan utama yang diajukan dalam tesis ini adalah persoalan mengapa NGO perburuhan di Indonesia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai bagian yang absah (legitim) dari gerakan buruh terorganisir? Untuk menjawab pertanyaan ini, Ford menguraikan lagi relasi antara pekerja industri, NGO dan negara dalam masa Orde Baru dan sebelumnya. Bahkan dia juga melakukan studi tiga tahun pasca kejatuhan Soeharto.

Indonesia mempunyai sejarah panjang yang kaya akan maju-mundurnya gerakan buruh. Pengorganisasaian buruh dan gerakannya telah terdokumentasi sejak abad 19. Serikat buruh telah memainkan dalam gerakan nasionalis, dalam periode kolonial, dan di bawah Soekarno. Pada 1966-1967 ketika kudeta dan pembunuhan massal yang berhubungan dengan PKI, gerakan buruh diberangus sedemikian rupa karena dianggap berhubungan dengan PKI sebagai partai politik terlarang. Keadaan ini tidak memungkinkan buruh maupun rakyat pada umumnya bisa berorganisasi dengan bebas. Serikat buruh mulai memasuki episode baru ketika orde baru Suharto meningkat kekuatannya Pada babak ini ruang demokrasi yang makin menyempit, membuat beberapa kalangan kelas menengah mulai kegerahan dan mencari ruang-ruang yang memungkinkan untuk membangun organisasi rakyat sesuai teori-teori radikal yang dipelajari dalam lingkar-lingkar diskusi ataupun di bangku kuliah.
Adanya perdebatan konsep intelektual mengenai peran intelektual sendiri digambarkan dengan baik oleh Michele Ford (lihat halaman 106-146). Ia merujuk pada teori internasional, yaitu perdebatan antara peran intelektual yang dipakai Bernstein dan Lenin. Bila ditarik lebih jauh lagi, ini adalah perdebatan antara paham demokrasi sosial dan paham sosialis. Menurut Bernstein serikat buruh sangatlah diperlukan sebagai alat demokrasi. Sementara dalam perspektif Lenin, serikat buruh merupakan sekolah buruh untuk menjadi vanguard party (partai pelopor). Akibat pengertian tentang peran serikat buruh yang berbeda inilah maka berbeda pula cara pandang terhadap intelektual dalam gerakan buruh. Tidak ada spontanitas dalam visi Lenin, karena kesadaran sosialis yang dimasukkan pada perjuangan kelas proletariat tidak dapat muncul secara spontan. Artinya intelektual berfungsi untuk memasukkan kesadaran itu. Sementara itu, versi Kautsky untuk sosialis demokratik, buruh memperoleh pengetahuan dan pengalaman melalui keterlibatannya dalam serikat buruh dan kekuatan melalui solidaritas serikat buruh, bukan melalui orang luar (outsider). Bagi Lenin, intelektual revolusioner merupakan outsider yang membangun kesadaran buruh dari kesadaran keserikatburuhan dan spontanitas menuju kesadaran revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme dan membangun diktator proletariat di bawah arahan partai pelopor.
Selain perdebatan soal intelekual dan serikat buruh dari tokoh-tokoh sosialis, Ford juga mencoba merujuk pada Perlman, seorang akademisi dari Amerika yang menulis Teori Gerakan Buruh. Dalam bukunya, Perlman lebih memperlihatkan peran serikat buruh yang hanya bermain dalam isu normatif atau ekonomisitis. Peran serikat buruh adalah sebagai kelompok kepentingan dalam masyarakat industri. Pandangan lainnya, seperti dari John Commons (mentor Perlman yang merupakan pendiri Mazhab Winsconsin dalam perdebatan tentang hubungan industrial) punya harapan lebih jauh, bahwa serikat buruh bisa mempromosikan adanya demokrasi dalam industri. Seperti halnya Lenin, Perlman juga mendasarkan argumennya bahwa terdapat perbedaan mendasar antara mentalitas serikat buruh dengan mentalitas intelektual. Bagi Perlman ketidakcocokan antara kesadaran serikat buruh dengan mentalitas intelektual tidak memberikan tempat untuk tumbuhnya intelektual revolusioner. Namun kritik Perlman bukan ditujukan untuk aktivitas revolusioner Leninis. Ia menunjukkan dua tipe intelektual yang berkembang di Eropa, yakni Sosialis Kristen dan kaum akademisi.
Dengan menggunakan tipologi NGO perburuhan yang dibuat Vedi Hadiz dan Fauzi Abdullah, Ford mencoba memeriksa lagi tipologi yang telah dibuat terdahulu ini. Hadiz melihat NGO perburuhan dari paradigma yang digunakan NGO itu, yakni korporatis, liberal, dan radikal. Sementara Fauzi Abdullah membedakan ruang dimana NGO itu bergerak. Antara yang bergerak di ruang mikro dan ruang makro antara yang teknokratik dan yang berorientasi struktural. Dalam penelitiannya Ford melihat bahwa keberadaan NGO di perburuhan tidaklah lepas dari keberadaan aktivis serikat buruh sendiri. Ada yang dibangun oleh mantan serikat buruh, oleh buruh yang masih bekerja, NGO yang dibangun oleh gereja; ada juga NGO yang dibangun oleh mahasiswa dan yang dibangun atas dasar pemikiran feminis. Bila dilihat dari ruang geraknya, terdapat berbagai macam lagi yaitu yang bergerak untuk bantuan hukum, kegiatan pengorganisasian dan untuk penelitian atau bergerak di level kebijakan. Semua NGO tersebut mempunyai basis pembenaran/rasionalisasi mereka akan fungsi dan perannya terhadap gerakan buruh.
Dalam Bab terakhir Ford mencoba mengeksplorasi kerja-kerja aktivis NGO dalam membantu gerakan buruh. Para aktivis yang diwawancara Ford, percaya dan cukup yakin bahwa mereka telah melakukan kerja-kerja yang cukup signifikan, terutama di jaman Soeharto. Kerja-kerja yang dilakukan antara lain ialah menumbuhkan ruang demokrasi, termasuk di antaranya merangsang pertumbuhan organisasi buruh. Ford memaparkan juga beberapa kasus serikat buruh-serikat buruh alternatif yang terbangun pada masa itu beserta para pendirinya dan intelektual yang cukup berperan dalam proses berdirinya. Untuk mengeksplorasi semua hal tersebut, Ford dengan pendekatan historisnya mengurai keberadaan tersebut. Secara ekonomi politik dari deskripsi histories yang dipaparkan Ford, terlihat bahwa kelahiran banyak SB di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari intelektual NGO. Oleh karenanya dapat disimpulkan juga bahwa konflik yang terjadi di tubuh intelektual sendiri dengan sendirinya akan berakibat pada konflik kepentingan di antara serikat buruh. Konflik-konflik kepentingan inilah yang pasca jatuhnya Soeharto mulai menguat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus retaknya hubungan antara NGO dan serikat buruh yang dilahirkannya. Sebut saja di antaranya: SISBIKUM dengan GSBI dan YBP dengan SBJ, dan lain-lain. Keretakan-keretakan itu seperti mengingatkan kembali di mana peran NGO sesungguhnya. Pada diskusi mengenai tesis ini, Ford menantang serikat buruh untuk lepas saja dari NGO. Jawaban yang diberikan serikat-serikat buruh yang hadir sangat tidak tegas, semua mencoba mencari pembenaran dan rasionalisasi dari hubungan-hubungan yang mereka bangun dengan NGO, baik yang sebagai lembaga donor maupun yang bergerak di level penelitian, advokasi ataupun program aksi. Ada suatu ketergantungan yang tanpa disadari oleh serikat buruh terhadap NGO: berupa sumber dana, pengetahuan ataupun sumber daya lainnya. Dari pihak NGO sendiri, adanya hubungan dengan buruh ataupun serikat buruh di akar rumput disambut dengan tangan terbuka tanpa pretensi apa-apa dibandingkan pretensi yang dibangun ketika SB akan berhubungan dengan NGO. Meskipun harus diakui beberapa NGO juga melakukan pemilihan-pemilihan secara subyektif terhadap Serikat Buruh ataupun organisasi buruh yang menjadi jaringannya.
Mencari sebuah peran baru bagi LSM menjadi akhir bab dari disertasi ini. Dalam bagian ini Ford menantang NGO untuk bisa mereposisi dirinya. Bila di masa lalu NGO bisa berdiri mendampingi buruh namun sekarang buruh juga butuh ruang untuk bisa mengaktualisasikan dirinya. Keberadaan beberpa undang-undang yang memberi keterbukaan bagi buruh seharusnya bisa meningkatkan aktualisasi buruh, namun ruang keterbukaan yang telah mulai terbuka sejak masa pemerintahan transisi Habibie belum juga menunjukkan kemajuan kualitatif dari gerakan buruh. Tidak teraktualisasinya buruh juga didukung oleh media yang tidak mmefokuskan liputannya pada gerakan-gerakan demokratik seperti gerakan buruh. Pasca Soeharto isu buruh yang sering terliput oleh media bukan lagi soal demonstrasi atau aksi-aksi, namun beralih pada masalah-masalah perburuhan lainnya seperti buruh anak dan kasus-kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sementara NGO yang selama Orde Baru terbiasa menjadi wakil dari buruh, juga belum bisa melepaskan posisi itu, sehingga meskipun terliput oleh pers, yang muncul di media adalah wacana NGO bukan serikat buruh. Selain itu, persoalan yang juga muncul di dunia perburuhan adalah terfragmentasinya buruh ke berbagai serikat/organisasi, dan sayangnya lagi eksistensi dari banyaknya serikat/organsiasi ini pun hanya diketahui oleh kalangan pergerakan, antarserikat buruh, ataupun kalangan NGO sendiri, tetapi tidak oleh media. Media biasanya hanya mengangkat serikat/organisasi buruh yang cukup mapan. Ketika permsalahan perburuhan/konflik perburuhan sudah masuk ke level nasional, sudah sangat biasa bila yang menghadapi adalah kalangan NGO. Hal ini tidak dapat disalahkan namun tidak dapat dibenarkan juga. Keberadaan NGO yang selalu ada di kota besar dan banyak berhubungan dengan media memudahkan mereka untuk bisa lebih menarik pemberotaan dibandingkan bila serikat buruh berjuang sendiri. Satu-satunya titik tawar buruh bisa terliput oleh media ialah apabila serikat buruh sanggup mengerahkan ribuan massa ataupun bisa menghadirkan tokoh nasional yang cukup dikenal oleh media. Bahkan kolaborasi front antara serikat buruh dengan NGO lama kelamaan memudar dengan sendirinya. Sebutlah seperti KPKB (Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh), KASM (Komite Aksi Satu Mei), keberadaan front antara buruh dan NGO tidak juga bisa meredakan bias yang ada antara NGO dan serikat buruh. Belum usai persoalan itu masih juga diperkeruh oleh adu eksistensi antara serikat buruh satu dengan serikat buruh lainnya.
Sebagai sebuah karya akademik, harus diakui disertasi Ford ini sangat kaya akan literatur perburuhan Indonesia. Dalam bagian lampirannya dengan cukup sistematis Ford menggambarkan perjalanan sejarah gerakan buruh Indonesia dalam berbagai literature. Historiografi perburuhan yang dibuat Ford membantu kita menempatkan pada fase mana perkembangan gerakan buruh kita dalam literatur, baik akademis maupun yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi buruh. Namun demikian, sayang dalam disertasi ini Ford tidak menawarkan solusi yang menantang untuk dikerjakan bersama antara NGO dan serikat dalam gerakan buruh. Ford tidak menggambarkan lebih lanjut apa yang harus dilakukan bersama untuk mengurai persoalan keberadaan NGO dalam gerakan buruh, misalnya apakah diperlukan aliansi taktis atau harus mengarah kepada aliansi strategis. Pilihan-pilihan untuk mencapai majunya gerakan buruh tidak dijabarkan oleh Ford, padahal bila kita tilik data yang disajikannya cukup banyak dan cukup bisa memberikan beberapa alternatif-alternatif gerak bersama. Posisi Ford yang sangat akademis ini membuatnya tidak dapat memberikan solusi alternatif bagi hubungan tersebut.
Tetapi, bagaimanapun, harus diakui bahwa penggambaran sejarah yang terperinci tentang gerakan buruh di Indonesia yang dilakukan Ford merupakan data yang luar biasa yang memberikan sumbangan penting bagi dunia perburuhan dan dunia akademik Indonesia. Meski bagi saya kenetralan yang diambil Ford ini menjadi kelemahannya: kejeliannya dalam mengungkap sejarah tidak diikuti denganmemberikan rekomendasi atau solusi yang berarti bagi pilihan-pilihan gerak NGO dalam gerakan buruh Indonesia.

Ika Wahyu Priaryani, adalah alumnus Sosiologi UI. Kini bekerja sebagai peneliti sosial

Friday, May 19, 2006

Fleksibilitas Kerja: Mengapa Harus Ditolak

Situasi ekonomi yang kian sulit di masa datang akan menempatkan buruh pada posisi tawar yang kian rendah. UUK dan revisinya akan jadi aturan normatif yang mengikat buruh bertahun-tahun ke depan. Karena itu kalangan serikat pekerja secara kolektif perlu menyetujui batas menimum kompromi yang dapat ditoleransi, terutama hal prinsip semacam sistem kontrak, outsourcing, upah dan besarnya pesangon (Dita Indah Sari, Kompas, 12 April 2006)Mengamati fenomena yang terjadi, sering membuat kita lupa, sebenarnya telah terjadi penyimpangan isu yang cukup esensial pada pemaknaan kita terhadap realitas. Bahkan Dita Sari, aktivis buruh yang dikenal sebagai aktivis buruh ‘kiri,’ melakukan pe’maaf’an terhadap situasi ekonomi yang sulit. Sebuah sikap yang membuat gerakan sosial terjebak kompromi dengan sistem yang tengah berlangsung. Kadang kita alpa bahwa sebentuk kesadaran palsu telah dibangun, yang menyebabkan kita luput untuk memeriksa kembali dan mencoba sedikit mundur guna melihat apa yang sesungguhnya tengah berlangsung.Dalam keramaian penolakan terhadap revisi UUK 13 ini, hal yang paling mengemuka selain masalah kesejahteraan seperti upah dan pesangon, adalah fleksibilisasi kerja. Dalam berbagai tulisan para ekonom, bahkan pernyataan dari pemerintah sendiri, dikatakan bahwa fleksibilisasi kerja merupakan upaya mendorong investasi agar lebih bergairah. Kebenaran akan pernyataan ini secara konseptual haruslah dipertanyakan. Beberapa asumsi paradoks terhadap fleksibilisasi ini telah diungkap dengan jelas dan lugas oleh kawan Martin Manurung (lihat artikelnya di sini).Melalui artikel singkat ini, saya ingin mengajak kita semua untuk merefleksi kembali latarbelakang munculnya konsep fleksibilisasi kerja ini. Kembali ke akar masalah adalah posisi yang mutlak, agar kita tidak terjebak pada perdebatan yang melulu teknis. Dari sana, saya ingin menunjukkan mengapa konsep ini harus ditolak.Bila dulu kepemilikan orang atas tenaga kerja orang lain disebabkan oleh penundukkan dan penaklukan, kini kepemilikan itu dilegalisasi oleh keberadaan uang sebagai alat tukar yang melahirkan adanya kerja upahan. Secara singkat bisa dikatakan, fleksibilisasi kerja muncul akibat berlakunya konsep kerja upahan.Sejalan dengan lahirnya industrialisasi, manusia menjual tenaga kerjanya kepada seseorang yang membutuhkan kerja-nya: di pabrik, bank, supermarket, LSM, dan lain sebagainya. Dalam hubungan ekonomi kapitalis ini, orang ataupun sekelompok orang bisa membeli tenaga kerja orang lain. Secara historis alasan mengapa kebanyakan kita bekerja untuk orang lain, karena kita memiliki pilihan yang terbatas.Kapitalisme dengan karakternya yang mencari laba akan terus mencari lingkungan yang produktif, lebih kompetitif, dan area yang lebih luas untuk terus beroperasi. Itu sebabnya, kapitalisme haruslah dilihat sebagai penyebab segala masalah yang muncul saat ini. Beberapa tulisan yang muncul menyatakan, penyebab mandegnya investasi bukanlah masalah perburuhan, melainkan masalah korupnya birokrasi, pungli dan lain sebagainya. Alasan ini mau menyatakan, ‘state’ merupakan penghalang investasi. Tapi, menurut saya, alasan ini hanya mencari kambing hitam dari masalah yang sebenarnya. Dan bila kita kritis, jelas alasan ini sejalan dengan agenda dari lembaga-lembaga internasional yang ingin memangkas peran negara sebagai regulator.Fenomena fleksibilisasi kerja dengan outsourcing, subkontrak, PKWTT dan lain sebagainya, haruslah dimaknai bahwa banyak orang juga telah kehilangan makna akan ‘kerja’ yang sesungguhnya yakni, sebagai sebuah kegiatan subsisten ataupun kegiatan berkarya. Kapitalisme dengan bentuk terbarunya neoliberalisme, telah menggiring aktivitas kerja sebagai kegiatan dehumanisasi: menjadikan manusia sebagai komoditas. Bila pada tulisan Sylvia Tiwon (baca di sini), kita baca perempuan bisa merupakan komoditas, dalam hal perburuhan pun buruh telah menjadi komoditas yang dipaksa bersaing dengan komoditas lainnya.Dengan meletakkan akar konsep fleksibilasai kerja ini, pada kerja upahan, menurut saya, tuntutan yang seharusnya diperjuangkan adalah mengembalikan proses produksi kepada buruh sebagai ‘creator.’ Intinya, buruh harus mengontrol alat-alat produksi. Dengan sendirinya, bentuk-bentuk komodifikasi rakyat pekerja yang sedang dilakukan pada pasar kerja saat ini, haruslah ditolak. Kontrol buruh terhadap produksi akan kembali me’manusia’kan buruh, dan jelas konsep seperti itu tidak bisa berjalan selama sistem yang sekarang ini (dengan logika akumulasi modalnya) masih eksis.Selama ini solusi yang ditawarkan dari kalangan akademisi, LSM, maupun pemerintah sendiri, hanyalah bagaimana menyiasati agar kapitalisme tetap eksis. Kita akhirnya terjebak pada penelitian maupun kajian yang tujuannya agar manusia bisa nyaman dalam sistem seperti ini. Ini jelas sesuatu yang anomali sifatnya, karena kapitalismelah yang menghancurkan harkat manusia, menjadikannya sekadar komoditi.Saya sendiri belum bisa memberikan solusi yang tokcer, tentang bagaimana cara membebaskan diri dari kungkungan kapitalisme ini. Tapi sikap saya jelas, penolakan terhadap kapitalisme neoliberal yang berarti juga penolakan atas segala konsekuensinya, merupakan posisi yang harus terus diingatkan, bahkan terhadap diri saya sendiri. Dan jelas upaya yang harus dilakukan sekarang adalah memperkuat pengorganisasian rakyat di segala level. Pengorganisasian ini bukan untuk kepentingan sesaat seperti aksi-aksi massa, ataupun Pemilu sekalipun. Dalam pandangan saya, pengorganisasian buruh harus diarahkan untuk penguatan organisasi, agar selanjutnya bisa menanggung beban untuk merebut alat produksi.
(dimuat juga di www.indoprogress.blogspot.com, terima kasih atas editan dari kawan Martin Manurung)

Tuesday, January 17, 2006

NGO dan Gerakan Buruh

Permasalahan hubungan antara NGO dan gerakan buruh, selalu menjadi tanda tanya. Apakah serikat buruh itu NGO...? dalam terminologi wacana civil society, bisa jadi dua entitas yang sesungguhnya berbeda ini dikategorikan sama. Dalam tulisan ini akan dijabarkan perbedaan dan hubungan kedua entitas ini dilihat dari sejarahnya. Tulisan ini juga akan mencoba menjawab dan menguraikan secara singkat pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
1. Bagaimana sejarah keberadaan serikat buruh dan ornop di Indonesia
2. Dimana posisi serikat buruh (buruh) dan dimana posisi ornop dalam hubungannya dengan negara?
3. Dimana posisi serikat buruh (buruh) dan dimana posisi ornop dalam cengkraman neoliberalisme
4. bagaimana pola hubungan yang terbentuk antara ornop dan serikat buruh dalam pembangunan gerakan buruh pasca reformasi di Indonesia?
5. bagaimana strategi pembangunan gerakan buruh di masa mendatang?
Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau biasa disebut juga Organisasi Non Pemerintah (Ornop) memiliki arti penting sebagai sarana penghubung, penyadar, sekaligus sebagai `alat kontrol' dalam proses pembangunan Ornop sendiri muncul karena kesadaran akan arti penting nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab pembangunan. Bila demikian halnya, keberadaan Ornop memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan nilai asasi manusia yang didudukan sejajar dengan proses pembangunan. NGO di negara maju sendiri lahir akibat keprihatinan terhadap pembangunan kembali eropa pasca perang dunia II, serta bantuan internasional untuk dunia ketiga yang baru merdeka. Bantuan pembangunan kepada NGO pada tahun 1970-an ke atas lahir bersamaan dengan mengalirnya bantuan asing dan utang seiring dengan dekade modernisasi dan pertumbuhan ekonomi negara dunia ketiga[1]. Sementara, Ornop di negara-negara berkembang yang muncul belakangan bisa dikatakan merupakan bagian dari kapitalisme pasar, karena hidupnya berpusat pada kompetisi atau perebutan sumber funding dan kelompok sasaran. Dalam konteks itulah sesungguhnya Ornop lahir.
Mengenai masalah ornop, Hadiz dalam tesisnya mengungkapkan bahwa Ornop perburuhan berperan dalam pencarian strategi alternatif pengorganisiran buruh di Indonesia. Hadiz mengungkapkan[2];
“While the strategy adopted by alternative labour organizing vehicles has been well suited to the particular condition present in Indonesia, it is unclear whether it can become the basis for a stronger and more effective independent movement in the future. For such a movement to come to fruition in the medium to longer term, these vehicles would have to be able to develop a more cohesive, common front and eschew the kind of fragmentation that has so far circumscribed them” (kendati lembaga-lembaga pengorganisasi buruh alternatif telah memakai strategi yang tepat untuk kondisi khusus yang ada di Indonesi, tidaklah pasti strategi tersebut dapat menjadi basis untuk membangun gerakan yang kuat dan efektif di masa depan. Agar gerakan itu berhasil dalam jangka menengah dan jangka panjang lembaga-lembaga itu harus mampu membangun perlawanan bersama yang kompak dan menjauhi fragmentasi yang sejauh ini masih ada di diri mereka)
Keraguan Hadiz akan menguatnya gerakan Ornop ini adalah karena ketidakmampuan Ornop perburuhan untuk melakukan kerja bersama yang terkordinasi dengan baik dan bisa berjalan secara simultan. James Petras[3], dalam penelitiannya terhadap perkembangan Ornop di Amerika Latin menyatakan bahwa terdapat perbedaan kepentingan antara gerakan ornop dan gerakan rakyat. Tujuan pokok dari orang-orang ornop adalah ‘memeperoleh’ dana asing untuk proyek mereka, sementara isu utama kaum marxis adalah proses perjuangan dan pendidikan untuk menjamin transformasi sosial.
Awal mula masuknya Ornop dalam perburuhan dan serikat buruh di Indonesia dikarenakan mandulnya SPSI. Dimana SPSI (serikat Pekerja seluruh Indonesia) sebagai perwakilan serikat buruh telah gagal mewakili kepentingan buruh dan malah menjadi bagian dari sistem yang bertentangan dengan kepentingan buruh[4].
Pemikiran Gramsci berakar pada Marx dan Lenin. Gramsci membuat semua asumsi-asumsi tentang asal-usul material dari klas dan peranan perjuangan klas dan kesadaran dalam perubahan sosial. Gramsci juga mengambil pandangan Marx tentang hegemoni borjuis dalam masyarakat sipil seperti yang diungkapkan oleh Marx dan Engels dalam The German Ideology, dan mengolahnya menjadi tema inti menurut versinya tentang bekerjanya sistem kapitalis.
Gramsci memakai konsep hegemoni untuk menjabarkan dan menganalisa bagaimana masyarakat kapitalis di organisasi pada masa dulu dan kini. Menurutnya, kaum borjuis Inggris telah relatif sukses dalam menjalankan kepemimpinan hegemoni pada masyarakat sipil (civil society), pada negara dan sekaligus dalam ekonomi. Di Prancis, setelah revolusi 1789, borjuasi disana telah menjalankan hegemoni juga. Tapi kontrasnya, borjuis Italia Selatan, yang berbasis di Piedmont, telah gagal menjalankan hegemoni di Italia. Konsekuensinya negara Italia malah memunculkan fasis karena ia tidak berdasarkan atas kepemimpinan hegemonik oleh borjuis dalam masyarakat sipil dan juga negara.[5]
Hegemoni menurut Gramsci merujuk pada penertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya disebut ‘momen’ dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang: dominasi merupakan konsep dari relaitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dari semangat ini berbentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator. Jadi hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau klas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari lainnya.[6] Kapitalisme masih bertahan karena buruh menerima keadaan umum ini, dominasi budaya borjuasi membuat penggunaan kekuatan politik tak perlu untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian jalan pembebasan dari kondisi ini adalah: massa harus dibebaskan dari keterpesonaan pada hegemoni budaya klas kapitalis sebelum perlawanan yang berhasil terhadap negara yang menindas itu bisa terjadi.
Sumbangan terbesar Gramsci untuk Marxisme adalah bahwa ia mensentralisasi apa yang ditulis Marx secara tersirat menjadi suatu ilmu Marxis tentang aksi politik. Gramsci melakukannyaa lebih dari sekedar pengenalan sederhana, bahwa politik adalah aktivitas otonom dalam konteks perkembangan sejarah kekuatan material. Baginya politik adalah pusat aktivitas manusia yang dengan kesadaran tunggal bersentuhan dengan alam dunia dan kehidupan sosial dengan segala bentuknya.[7]
Penelitian ini berangkat dari kerangka pemikiran diatas. Formulasi Gramsci tentang negara adalah masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni didukung oleh sarana penekan (masyarakat politik), tergambar pada bagimana kapitalis internasional dengan perangkat hegemoni-nya (propaganda neoliberalisme: pasar bebas, kompetisi dan pengetatan anggaran) di dukung dengan sarana penekannya (organisasi internasional, negara dengan kebijakan penekan dari keduanya) mempengaruhi pola tindakan serikat buruh dan Ornop, beserta pola hubungannya, dalam upaya membangun gerakan buruh di Indonesia.
Hubungan Ornop dan Serikat Buruh di Indonesia sebagai sebuah proses politik memiliki dua kecenderungan. Yang pertama adalah penguatan posisi buruh dalam skema hubungan industrial, juga pengakuan terhadap serikat buruh dalam mengelola dan terlibat dalam penetapan kebijakan perusahaan. Sementara yang kedua justru melemahkan posisi tawar buruh dan mengalihkan kontrol gerakan buruh kepada alat pemilik modal : Negara atau Ornop atau bahkan kolaborasi keduanya.

Konteks Politik Pembangunan Organisasi, Syarat Material Pembangunan Organisasi Manajemen Organisasi , Program, Strategi dan Taktik Organisasi
1. Konteks Politik Pembangunan Organisasi
Serikat Buruh di Indonesia, terangsang pembangunannya apabila dia berada di dalam situasi politik yang revolusioner, massif dan penuh percepatan. Hal ini bisa kita lihat dari sejarah kemunculan serikat buruh pada jaman kemerdekaan, yaitu seiring dengan semangat dan situasi yang revolusioner menuntut kemerdekan dari kolonialisme. Contoh yang lain adalah kemunculan dua serikat buruh independen yang paling berpengaruh di era Soeharto yaitu SBSI dan PPBI (kini FNPBI) yang muncul ketika pemogokan pabrik sedang full-swing di berbagai daerah.
Berbeda halnya dengan Ornop. Kebanyakan Ornop di Indonesia terbentuk dari situasi politik yang telah memasuki tahap anti-klimaks, dimana masih ada ruang demokrasi (public sphere) meskipun kecil, dan situasinya tidak kondusif untuk melakukan serangan politik secara terbuka kepada negara[8].
Memang beberapa pendapat ahli dan aktivis social menyebutkan bahwa untuk kasus Indonesia keberadaan ornop justru membantu radikalisasi gerakan[9]. Sebagian ornop fungsi sebagai ruang isolasi bagi kaum revolusioner, untuk tetap mempertahankan intensitas kerja revolusioner bila kondisi politik mengalami demokrasi yang menyempit. Yang menjadi masalah kemudian adalah, ukuran demokrasi menyempit atau tidaknya, baik dari ornop maupun serikat buruh berbeda takarannya. Apabila perbedaan ini tidak dapat dipecahkan, baik dalam sebuah discourse ataupun action, maka yang akan terjadi adalah situasi saling tidak berhubungan, membiarkan. Dalam titik ekstrem situasi saling membiarkan tersebut bisa berubah menjadi saling menghilangkan (negasi). Tapi dalam hal ini jarang terjadi, kecuali masuk kedalam arena politik yang secara vis a vis berlawanan secara diametral, misalnya: pemilu.Tetap saja dalam riil politik, situasi yang tidak sinergis diatas harus dipecahkan menjadi sebuah konfugurasi politik alternatif, dimana gerakan buruh mendapatkan muaranya.

2. Syarat Material Pembangunan Organisasi
Serikat Buruh memiliki karakter yang tegas dalam pembangunannya. Dia merupakan alat yang lahir dari kepentingan kelompoknya: buruh. Ketika sebagian atau seluruh buruh di sebuah perusahaan menginginkan berdirinya sebuah organisasi di tempat kerjanya, maka selayaknya berdirilah sebuah serikat buruh disana. Memang pada era Orde Baru Serikat Buruh secara sistematis dimatikan fungsi dan perannya dalam proses demokrasi, lewat penetapan UU serikat buruh, kooptasi langsung kepentingan negara terhadap serikat (SPSI) bahkan dengan represi sekalipun (TNI/Polri). Tapi hal ini tidak mengurangi keinginan buruh untuk mencari sekaligus membentuk organisasi yang sejatinya menjadi alat perjuangan kepentingannya, lewat pemogokan-pemogokan[10]. Secara materil logika ini bisa dibenarkan karena mau tidak mau serikat buruh harus mempertanggungjawabkan perannya kepada anggota karena secara finansial serikat buruh sangat tergantung dengan iuran anggotannya.
Berbeda halnya dengan ornop. Pada umumnya ornop diisi oleh kalangan menengah yang memang tidak memiliki dasar kepentingan yang abadi[11]. Keberpihakan kalangan ini pada perjuangan buruh seringkali hanya berdasar pada dorongan simpati tetapi tidak memiliki dasar argumentasi yang ideologis[12]. James Petras dalam bukunya Globalization Unmasked : Imperialism in 21st Century menyebutkan[13]: “…..Sekarang ini setidaknya ada 50.000 ornop di Dunia Ketiga yang menerima total dana lebih dari 10 miliar dollar Amerika dari lembaga-lembaga keuangan internasional, agen-agen pemerintah Eropa, Amerika dan Jepang serta pemerintah-pemerintah lokal. Para manajer ornop terbesar mengelola anggaran-anggaran jutaan dollar amerika dan menerima gaji dan rembesan uang yang sebanding dengan gaji CEO. Mereka mengikuti konferensi-konferensi internasional, berunding dengan para direktur utama keuangan dan bisnis, serta membuat keputusan yang mempengaruhi –dalam mayoritas kasus besar, yang terjadi justru sebaliknya – jutaan kaum miskin, perempuan dan buruh sektor informal.”
Disinilah ornop-ornop digambarkan memistifikasi sekaligus menyingkirkan ketidakpuasan rakyat tersebut agar tidak langsung menyerang struktur-struktur kekuasan dan keuntungan perusahaan atau perbankan. Dari sini juga tergambarkan ornop menangani proyek-proyek kecil lokal, eksploitasi diri ‘akar rumput’ yang apolitis dan pendidikan rakyat yang menghindari analisa kelas atas imperialisme dan peolehan keuntungan dari mencuri nilai lebih tenaga kerja. Yang menjadi masalah adalah, karena keterbatasan sumber daya material (sumber daya profesional progresif dan dana perjuangan), banyak serikat buruh yang menggantungkan diri pada langkah gerak ornop, yang terjadi kemudian adalah serikat buruh menjadi tercerabut dari akar perjuangan kelasnya.[14]
3. Manajemen Organisasi
Berdasarkan uraian diatas, kita bisa melihat bahwa watak demokratik dari serikat buruh sesunguhnya tidak setengah-setengah. Dibangun dari kebangkitan politik rakyat secara massal, menuju pengaturan kerja sistematis yang simultan berupa aksi massa, pemogokan, pertemuan-pertemuan akbar dan iuran. Seringkali yang menjadi kegamangan demokratik dari serikat buruh adalah ketika berhadapan dengan percepatan situasi politik – baik di dalam tempat kerjanya, maupun diluar tembok pabrik – yang mengharuskan sebuah serikat buruh memposisikan dirinya[15]. Ditambah dengan jamaknya pragmatisme pengurus serikat yang berwatak formalis seringkali serikat buruh diatur oleh pengurusnya dengan cara sentralistik yang mematikan inisiatif pembangunan kesadaran sejati anggotanya[16]. Dalam banyak babak perkembangan gerakan serikat buruh, upaya paling mutakhir untuk menjawab permasalahan diatas sesungguhnya sudah coba dijawab oleh aktivis PRD yang bekerja di sektor buruh (membangun FNPBI). Upaya tersebut adalah dengan mempraktekan Sentralisme Demokrasi[17] dalam serikat buruh. Meski apa yang telah dipraktekan oleh kader-kader PRD adalah upaya yang terbaik yang bisa dikerjakan oleh sekelompok intelektual organik, tapi masih banyak kekurangannya bagi pengembangan gerakan buruh yang sejati. Seperti yang diungkapkan oleh Dita Indah Sari, Ketua umum FNPBI[18]:
“The unions and workers that join FNPBI were not radicals like the PRD-affiliated founders of the union. Mostly they are workers who have heard our name and agree with our opinions. Or they are workers who have helped who are greatful, thankful and comfortable with our organization.”

Struktur sendem yang dipraktekkan oleh FNPBI memiliki kemampuan untuk menampung kerja harian serikat buruh yang dibutuhkan untuk benar-benar bekerja di tengah-tengah massa. Memang harus diakui FNPBI bukan serikat buruh yang terbesar di Indonesia, tapi praktek tersebut merupakan jawaban sekaligus kritik terhadap serikat buruh yang bermassa lebih besar, tapi tidak sanggup melibatkan massanya dalam aktivitas keseharian serikat buruh, seperti SPSI maupun serikat independen semisal SBSI
Berbeda halnya dengan ornop, dimana organisasinya di atur dalam langgam kerja sebuah badan usaha. Didalamnya ada dewan direktur (board of director), eksekutif harian, kordinator kerja berdasar lingkup tema kerja, dan aktivisnya. Seringkali ornop disebut sebagai perusahaan nir laba. Jauhnya aktivitas harian ornop dari keseaharian permasalahan massa, menjadikan manajemen organisasi ornop sangatlah ringkas dan membentuk regularitas yang monoton. Bahkan banyak sekali ornop di Indonesia yang hanya bersentuhan dengan tema sosial, tidak bersentuhan sama sekali dengan massa. Mereka biasanya memposisikan diri sebagai think-thank, yang kemudian menjual hasil kerjanya kepada lembaga-lemabaga pendonor. Sehingga tidak jarang kita mendengar ornop sebagai organisasi kepanjangan tangan pemerintah atau pemilik modal[19].
Liberalitas organisasi diatur berdasarkan target-target laporan dan rapat-rapat. Memang ada beberapa ornop yang bergerak langsung mengorganisasi massa. Tapi jumlah mereka hanya sedikit, dan biasanya mereka tidak sepenuhnya bertanggungjawab kepada massa layaknya serikat buruh. Melainkan mereka bertanggungjawab pada board of director atau pimpinan proyek yang memberi tugas. Netralitas keberpihakan lewat hasil-hasil penelitan yang partisipatif sekalipun masih sangat kentara. Padahal masalah rakyat tidak akan pernah selesai ketika penelitian dinyatakan selesai.
Baik ornop maupun serikat buruh di Indonesia menghadapi masalah besar organisasi ketika menghadapi gerakan massa yang luas, terutama buruh. Tak sedikit dari upaya kerjasama yang dilakukan antara ornop dan serikat buruh lewat forum-forum ataupun pembangunan organisasi bersama seperti front menghadapi kebuntuan. Tak sedikit dari organisasi bersama tersebut ‘bubar di tengah jalan’ lantaran keduanya punya hambatan memadukan kerja massa dengan prioritas program organisasi yang ditetapkan. Mengenai hal ini akan dipaparkan pada sub-bab berikut ini.


4. Program, Strategi dan Taktik Organisasi
Masalah mendasar mengenai program, strategi dan taktik organisasi adalah turunan dari problem-problem mendasar diatas. Masalah ini meliputi semua aktualisasi kerja ornop maupun serikat buruh terhadap pengembangan gerakan buruh. Mengenai masalah ini akan ditelusuri lebih dalam di bab 4, hanya saja yang menjadi catatan penulis pada sub-bab ini adalah bahwa perbedaan program, strategi dan taktik organisasi ini sangat sulit untuk dijadikan sebuah pembicaraan yang dialogis diantara serikat buruh maupun ornop. Karena pada prakteknya diantara keduanya masih terjadi hubungan mutualisme yang saling membutuhkan[20]. Apalagi sangat sedikit dari ornop maupun serikat buruh yang langsung memiliki afiliasi politik, sehingga perdebatan diantara keduanya mengenai hal ini dianggap sesuatu yang absurd, tidak prioritas dan dianggap tahu sama tahu.
Kekhususan dari hubungan serikat buruh dan ornop di Indonesia harus dipahami sebagai kesatuan organik dari operasi gerak modal secara global. Seperti apa operasi gerak modal (atau yang lebih dikenal sebagai neoliberalisme) ini di Indonesia. Dengan begitu kita dapat memetakan, bagaimana posisi dari serikat buruh dan Ornop di Indonesia yang sudah dicengkram neoliberalisme.
Dengan mengangkat tema masyarakat sipil , orang-orang ornop mengaburkan pembagian kelas, eksploitasi kelas dan perjuangan kelas yang mempolarisasikan ‘masyarakat’ sipil kontemporer. Konsep masyarakat sipil mempermudah kolaborasi ornop dengan para kapitalis yang mendanai lembaga-lembaga mereka dan mengijinkan mereka untuk mengarahkan proyek-proyeknya ke dalam hubungan-hubungan subordinat pada kepentingan bisnis besar yang mengendalikan ekonomi neoliberal.

Konsep hegemoni Gramsci sebenarnya dapat dielaborasi melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas
[21]:
“Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara: Pertama, sebagai dominasi. Kedua, sebagai kepemimpinan intelektual dan moral. Disatu pihak sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan bersenjata; dilain pihak, kelompok sosial tersebut memimpin kelompok-kelompok kerabat atau sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan salah satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika mempraktekkan kekuasaan, bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh ditangannya, dia masih terus ‘memimpin’ juga.”


James Petras berpendapat, setidaknya ada dua agenda penting yang harus menjadi perhatian penting dalam membangun ideologisasi dalam gerakan buruh beranjak dari hubungan ornop dan serikat buruh di Indonesia. Pertama, ketika mengarahkan kritik-kritiknya ke WTO, IMF dan World bank, serta mengkritik modal-modal spekulatif, kemiskinan dan sebagainya, ornop tidak memiliki basis yang terorganisasi diantara kaum pekerja dan petani, produsen langsung kekayaan dunia. Karena tidak memiliki jalinan organik dengan kelas-kelas ini beserta segi-segi kehidupannya, tidak sedikit dari ornop-ornop bekerja tanpa disertai analisa kelas atas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh banyak orang, maka tidak mampu menwarkan solusi yang efektif untuk melakukan perubahan sosial secara substansial. [22]
Kedua, serikat-serikat buruh tradisional, konfederasi-konfederasi buruh pemerintah, dengan beberapa pengecualian yang penting, telah beradaptasi dengan kebijakan neoliberal yang urgen dan tuntutan-tuntutan para konglomerat ekonomi. Petinggi-petinggi serikat buruh tersebut telah mengambil posisi vis-à-vis dengan negara, yang berarti mirip dengan hubungan antara raja-raja dan para bangsawan: mereka bersumpah setia kepada tatanan neoliberal dengan imbalan boleh mengusai tanah-tanahnya sendiri.[23]
Wilayah kesadaran merupakan hal yang utama bagi Gramsci untuk memperjuangkan klas bawah melawan kelas dominan. Namun ada pertanyaan yang muncul, bagaimana proses perubahan bisa terjadi, dalam arti klas pekerja memenangkan hegemoni kelas dominan (kapitalis-militeristik untuk kasus Indonesia)? Dalam ornop, faksi liberal dan faksi transformatif yang secara ideologi kontradiktif, masih ada.
Dalam konteks ekonomi neoliberal, keberadaan ornop, menjamin berlangsungnya sistem ekonomi baru ini. Organisasi ini mencabut, para intelektual progresif dari gerakan rakyat, menjadi para teknokrat ornop, yang menjual kemampuannya kepada lembaga donor.
Hegemoni neoliberal terhadap serikat buruh, secara tidak sadar dilakukan oleh Ornop. Oleh karenanya perjuangan revolusioner tidak hanya menaruh perhatian pada persoalan penggulingan rezim neoliberal, namun yang lebih penting adalah merebut perhatian dan pengaruh rakyat. Meskipun banyak kasus, isu ornop menentang kebijakan neoliberal tapi secara praktek, ia menerima dana dari luar negeri dan memisahkan gerakan rakyat dari gerakan politik. Gerakan serikat buruh dilihat sebagai gerakan ekonomi belaka dan tidak menyatukan buruh ke dalam perjuangan bersama yang lebih solid, Perbedaan kepentingan di antara ornop, membuat ornop menjadikan serikat buruh sebagai ‘barang jualan’ terhadap lembaga donor dan basis eksistensinya. Dampak negatif dari relasi ornop serikat buruh, terlihat dari makin terpecah-pecahnya serikat buruh.
Untuk mencapai relasi yang harmonis dalam rangka pembangunan gerakan buruh ke depan. Ornop harus mengubah dirinya menjadi anggota gerakan-gerakan sosio politik. Inilah jalan terbaik untuk menghindari generalisasi terhadap puluhan ribu ornop di dunia yang selama ini mengisi perut para pendonor. Keberadaan para akademisi, seharusnya juga bisa menjadi inteletual-intelektual yang bersatu dengan gerakan rakyat, sehingga bisa menjadi inteletual-intelektual yang organik.
Footnote
[1] Setiawan Bonnie, Organisasi Non Pemerintah dan masyarakat sipil. Dalam Prisma 7 Juli 1996 hal. 35
[2] Hadiz, Vedi R. Worker and the State in New Order Indonesia.1997 hal. 155
[3] seorang intelelektual dari Amerika Latin, yang meneliti perkembangan Ornop di Amlat selama 25 tahun terakhir. Hal tersebut diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Imperialisme abad 21. ibid
[4] op.cit La botz.hal 129
[5] ibid. Bocock. Hal 27
[6] Bellamy, Richard. 1987. Modern Italian Social Theory, From Pareto to the Present, Terjemahan oleh Vedi R. Hadiz. 1990. Teori Sosial Modern: Perpektif Itali. LP3ES. Jakarta. Hal 185.
[7] Carnoy, Martin. 1984. The State and Political Theory, Princeton University Press, New Jersey. Hal 65 disadur dari Patria, Nezar dan Arief, Andi. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 8-10
[8] ibid La Botz hal 269
[9] ibid La Botz hal 130
[10] lihat table hal 27
[11] Labour Education Center (LEC). Mei 2002. “Antara LSM dan Serikat Buruh”. Buletin LEC, nomor 7, Bandung. Hal 6
[12] ibid LEC, hal 6
[13] Kutipan ini diambil dari terjemahan buku Petras oleh Prihantoro, Agung. 2002. Imperialisme Abad 21. Kreasi Wacana, Jogjakarta. Hal 235.
[14] Memang kefakiran sanggup membawa orang menjadi kafir atas tugas sejarah perjuangan kelasnya
[15] SMERU. 2002. Hubungan iindustrial di jabotabek, Bandung dan Surabaya pada Era Kebebasan Berserikat. Laporan Penelitian, Jakarta. Hal 34
[16] ibid, Smeru. Hal 35
[17] Sentralisme Demokrasi (sendem) adalah sebuah mekanisme organisasi yang mencoba menggabungkan segi demokratis dan sentralisme dalam praktek keseharian organisasi yang memiliki basis perjuangan buruh. Sendem pertama kali dikenalkan oleh oleh Karl Marx dan Engels pada abad 19 di Kongres pertama Liga Komunis. Segi demokratis dari organisasi dibangun lewat laporan-laporan, keluhan dan kritik dari unit organisasi terendah kepada badan organisasi yang diatasnya langsung diterima oleh badan teratas (kongres). Keseharian organisasi dipimpin langsung oleh pengurus pusat (eksekutif) yang bertanggung jawab kepada kongres. Segi sentralistik dari organisasi di praktekan melalui instruksi-intruksi, arahan serta terbitan yang hanya dikeluarkan oleh eksekutif dari pusat hingga ke daerah-daerah. Semua badan organisasi berhak mengelurakan terbitan, tapi hanya ada satu organ sentral (terbitan) yang harus menjadi referensi utama ditiap level organisasi. Kunci Sukses dari praktek sendem dalam organisasi tergantung dari regularitas dan distribusi organ setral, karena hanya organ sentral-lah yang sanggup mengarahkan semua aktivitas revolusioner organisasi, dari aktivis pelopor (vanguard) hingga massa luas secara umum. Hal ini digambarkan secara rinci oleh V.I. lenin lewat tulisannya yang berjudul Tugas Mendesak Kita. Secara komprehensif sendem telah menjadi sebuah mekanisme yang utuh dari pengalaman organisasi revolusioner setelah V.I. Lenin mengeluarkan tulisannya : Struktur dan Mekanisme Kerja Partai Komunis, pada Kongres Partai Komunis Uni Soviet pada 1922, Moskow.
[18] op.cit, La Botz. Hal 246
[19] Budairi, Muhammad SH., M.Hum. 2002. “Masyarakat Sipil dan Demokrasi”. Kreasi Wacana, yogyakarta. Hal 90
[20] Catatan lainnya dari pengamatan penulis, saat ini memang semakin sering terjadi pertemuan untuk membicarakan masalah ini, tapi ruang lingkupnya masih tertutup sehingga secara ilmiah sulit untuk dipertanggungjawabkan. Dan intensitas pembicaraan ini seiring juga memanasnya situasi politik menjelang Pemilu 2004, dimana berbagai kalangan serikat buruh dan ornop semakin merasakan upaya restorasi kekuatan lama Orde Baru semakin nyata menyempitkan ruang demokrasi.
[21] Gramsci, Antonio. 1976. Selection from The Prison Notebooks, Quintin Hoare dan Nowell Smith (ed), international publisher, New York. Hal 57-58 disadur oleh dalam Patria, Nezar dan Arief, Andi. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 117
[22] Petras, James dan Veltmeyer, Henry. 2001. Imperialisme Abad 21. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Kreasi Wacana, Yogyakarta. Hal 308
[23] ibid. Petras. Hal 309

Tuesday, January 03, 2006

AKTIVIS-PENELITI

Peran peneliti atau bisa dikatakan intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama menjadi bahan perdebatan, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Tugas dari peneliti/intelektual adalah bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teoritis tersebut dalam masyarakat ataupun hal yang menjadi objek penelitiannya. Sebagian lain ada yang berpendapat bahwa intelektual seharusnya “turun ke bumi”, berpartisipasi langsung dalam proses perancangan dan perubahan sosial. Mengutip Gramsci, intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”. Sekedar contoh, perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar universitas yang melibatkan diri dalam penelitian-penelitian akademis, dan juga sebaliknya, makin banyaknya intelektual universitas yang melibatkan diri dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, perancangan sosial dan pengambilan kebijakan. Sementara itu Common enemy LSM tidak jauh berubah, yaitu kemiskinan, kebodohan (illeteracy), pengangguran, kerusakan lingkungan, sampai alienasi dan marginalisasi indegenous people.
Di Indonesia, karena kegelisahan akan canpur tangan negara yang terlalu besar dan mandulnya peran ilmuwan sosial dalam perubahan sosial, pada awal 1980-an sekelompok aktivis LSM dan mahasiswa yang sering terlibat dalam aksi-aksi sosial lokal mendirikan API (Asosiasi Peneliti Indonesia) dan memperkenalkan apa yang disebut Participatory Action-oriented Research, PAR (Penelitian Berhaluan Aksi Partisipatif). Sosiolog Ignas Kleden (1997) menyebutkan bahwa PAR memiliki empat kriteria. Pertama, jika dalam penelitian empiris orang-orang yang menjadi sasaran kajian tidak tahu-menahu dengan hasil-hasil temuan riset, maka dalam PAR orang-orang itulah justru yang pertama-tama harus tahu dan menggunakan hasil-hasil temuan tersebut. Kedua, orang-orang yang menjadi sasaran penelitian sosial harus tidak diperlakukan sebagai sasaran observasi ilmiah semata, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam penelitian tentang mereka itu sendiri. Ketiga, tujuan PAR bukanlah hanya untuk menghimpun data tentang kelompok orang-orang yang dikaji, tetapi untuk menanamkan pengertian yang lebih baik pada mereka, serta memelihara solidaritas terhadap mereka. Ini mengangdung arti bahwa pada analisis terakhir tujuan PAR tidaklah hanya pada meluasnya lembaga pengetahuan, tetapi pada mendorong aksi bagi perubahan sosial. Keempat, mengingat tujuan-tujuan khusus PAR tersebut, maka penguasaan metodologi penelitian saja belumlah cukup, melainkan harus dilengkapi dengan suatu komitmen sosial yang jelas.
Hubungan intelektual-peneliti dengan dunia luar seperti aktivis LSM (yang bergerak di bidang advokasi/pemberdayaan), mahasiswa, serikat buruh, menjadi penting walau tak selalu menentukan. “Kontak dengan dunia luar inilah yang melahirkan pemikiran alternatif,” katanya. Kalangan intelektual ini membawa pendidikan partisipatoris yang tidak sekadar memperkenalkan ide-ide tapi coba menggali dan mengembangkan pengetahuan yang ada di kalangan petani, rakyat, nelayan dan lainnya. Metode pedagog radikal Paulo Freire bertemu dengan kebiasaan kumpul dan ngobrol menghasilkan bermacam pemikiran dan langkah konkret baru menyelesaikan masalah. Dari proses pergulatan dengan realitas ini bermunculan – meminjam istilah Antonio Gramsci – intelektual organik yang berpijak di basis.
Ketika penelitian tersebut telah menghasilkan sebuha laporan, dan dirasa berguna, biasanya kemampuan menyebarluaskan dan menjadikannya bagian dari pengetahuan masyarakat sangat terbatas.
Jika pada tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.
Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial?
Itu hanyalah sebagian dari pekerjaan rumah “kritik diri” yang harus segera dikerjakan. Campur tangan negara dan kapitalisme global memang masih merupakan tantangan yang releven bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih perlu ditambah lagi dengan tantangan dari campur tangan lembaga-lembaga donor internasional), tetapi “kritik diri” adalah sebuah tantangan yang tak kalah penting dan tak kalah kompleksnya.