Thursday, July 07, 2005

Pembangunan yang Membebaskan

Pembangunan seharusnya merupakan upaya membebaskan umat manusia dari keterkungkungannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Namun pakah pembangunan di Indonesia merupakan upaya pembebasan?
Amartya Sen mengungkapkan bahwa dalam pembangunan yang mebebaskan diperlukan instrumen pembebasannya. Instrumen pembebasan tersebut ialah; kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial,, jaminan transparansi dan keamanan. Instrumen pembebasan tersebut merupakan kapasitas umum dari manusia untuk hidup lebih bebas dan saling melengkapi satu sama lain. Kebebasan politik, merujuk pada kesempatan dimana rakyat berhak untuk menentukan siapa yang akan memimpin mereka dan dapat mengkritisi otoritas. Kebebasan politik juga mencakup kebebasan mengekspresikan politik, kebebasan pers, dan kebebasan memilih diantara banyak partai politik.
Fasilitas ekonomi , merujuk pada kesempatan dimana individu dapat mempergunakan sumberdaya ekonomi untuk konsumsi, produksi ataupun pertukarannya. Kesempatan sosial merupakan pengaturan dimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan perangkat lainnya untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Fasilitas ini juga ditujukan untuk meningkatkan partisiapsi dalam ekonomi dan aktivitas politik. Untuk mendukung kebebasan-kebebasan tersebut di atas juga diperlukan suatu jaminan transparansi dimana fasilitas atau instrumen tersebut dpaat dikases dan dipertanggungjwabkan kepada semua anggota masyarakat. Kemudian bila semua hal tersebut telah berjalan diperlukan perlindungan kemanan yang menjaga agar semua hal tersebut dapat berlangsung dengan lancar.
Demokrasi merupakan syarat dari sebuah proses pembangunan yang membebaskan. Di negara-negara sedang berkembang demokrasi berjalan tersendat-sendat bahkan seringkali tidak muncul dalam kehidupan berpolitiknya. Berdasarkan kategorisasi Hutington (1968) sistem politik di negara-negara berkembang disebut sebagai sistem politik tradisional. Terdapat dua konsep yang terkait dengan sistem politik tradisional, yaitu negara feodal dan negara birokratis, yang ditandai oleh pemusatan kekuasaan. Dalam kondisi demikian peluang tumbuhnya demokrasi kecil sekali. Faktor lain yang menghambat tumbuhnya demokrasi adalah budaya yang terbelakang dan penjajahan kolonial. Tiga hal yang menjadi syarat untuk terbentuknya atau tegaknya demokrasi, yakni faktor historis, tatanan sosial-ekonomi, dan budaya politik. Henry B Mayo (1960) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Democratic Theory dapat menjadi referensi. Mayo memberikan definisi sebagai berikut: "Sistem politik yang demokratis ialah sistem dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik". (A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom).
Pembangunan yang dilaksanakan indonesia lebih memusatkan diri pada pertumbuhan ekonomi yang dilihat pada hitungan makro berupa GDP dan GNP. Dinyatakan oleh Sen bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya akans ellau berkorelasi positif terhadap perumbuhan demokrasi. Namun pertumbuhan ekonomi tidak dapat berjalan lancar dalam suasana yang demokratis. Pertumbuhan ekonomi memerlukan kestabilan politik dan tingkat homogenitas politik yang tinggi. Dalam suasana demokrasi liberal, pertumbuhan ekonomi tidak dapat berjalan lancar. Untuk itu kita dapat melihat contok pembanguna ekonomi yang dilaksanakan Orde Baru. Dalam masa Orba, pembangunan ekonomi dijaga dengan kekuatan militer yang kuat sehingga trelihat stabil. Pertumbuhan partai politik dan pengekpresian politik dilarang dalam upaya menciptakan kestabilan untuk pertumbuhan ekonomi. Rakyat dibungkam untuk menuntut hak-haknya atas nama pembangunan ekonomi. Soedjatmoko (dalam Rusli Karim, 1998) menggunakan istilah modernizing bureaucratic state (MBS) untuk menyebut corak sistem politik dan pemerintahan di dunia ketiga, kecenderungan ke arah otoritarianisme dan sentralisasi begitu menonjol. Terdapat empat pengaruh yang muncul dari MBS: keinginan untuk terlaksananya pembangunan ekonomi yang cepat, tidak terhalang oleh percekcokan politisi berpandangan sempit dan mementingkan diri sendiri; pemikiran "unilinier" para teknokrat; pemikiran militer yang berorientasi misi; dan konsep tradisional tentang negara dan masyarakat.
Pertanyaan lanjutan dari hal-hal yang telah dipaparkan di atas adalah , siapa penyedia instrumen demokrasi dan siapa pelaksana pembangunan itu sendiri dalam sebuah negara. Pada konsep negara pembangunan, pengumpulan modal secara aktif dilaksanakan di bawah pimpinan negara atau borjuis dalam konteks negara otoriter (Budiman 1988): Negara dalam konsep ini mempunyai taraf otonomi yang tinggi. Sifat dan proses pembangunan negara-negara ini difahami secara teoretis oleh teori ekonomi neoklasik dan ekonomi institusionalis baru. Teori ekonomi neoklasik menegaskan pentingnya peranan pasar dalam penggunaan sumber daya ekonomi dan yakin bahwa pertumbuhan jangka panjang akan muncul dari kegiatan ekonomi jangka pendek. Pendekatan ini menitikberatkan pasar bebas, penswastaan perusahaan-perusahaan negara, promosi perdagangan bebas antarnegara, investasi asing, penghapusan peraturan pemerintah, perlindungan import untuk sektor-sektor tertentu, dan sebagainya. Korea Selatan, Taiwan dan Singapura dapat digolongkan sebagai negara pembangunan.
Kemudian tipe negara kedua adalah konsep Negara Kapitalis Birokratis. Konsep negara ini merujuk kepada negara dimana proses pengumpulan modal ditujukan untuk memperkaya birokrat-birokrat negara yang menggunakan kekuasaan birokrasi sebagai alat pengeluaran mereka (Budiman 1988 :112) Negara kapitalis birokratis terwujud dalam konteks ketergantungan ekonomi. yaitu dalam bentuk perdagangan antar negara dan pemindahan teknologi asing. Dalam ekonomi yang bergantung, pada awalnya, elit negara dan borjuis lokal mempunyai kepentingan bersama.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah menjalani dua tipe negara yang dipaparkan di atas. Masa dimana demokrasi liberal tumbuh hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan pada waktu itu terbukti tidak menyumbangkan suatu pertumbuhan ekonomi pada masanya. Kemudian di masa reformasi (transisi) sekarang, rakyat mulai menuntut kembali hak atas instrumen kebebasan yang seharusnya disediakan oleh pembangunan. Pertanyaan apakah pembangunan ekonomi atau demokrasi yang lebih didahulukan dalam pembangunan, mungkin seperti sebuah dilema. Namun untuk menuju sebuah masyrakat yang demokratis memang diperlukan kecukupan fasilitas ekonomi masyrakat baik secara kolektif maupun individual, karena dengan tingkat kehidupan ekonomi yang kurang akan sukar untuk menanamkan kesadaran politik pada massa rakyat. Namun teori ini terbantah dengan hasil penelitian di bawah ini.
Hubungan antara kehidupan ekonomi masyarakat dengan demokratisasi dapat dilihat pada survei Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI yang bekerja sama dengan Komite Pemberdayaan Pemilih selama satu minggu (21-28 Mei 1999) tentang rasionalitas politik pemilih miskin di Jakarta dan Surabaya (halaman 79-101) menunjukkan tingginya tingkat partisipasi politik, yaitu mencapai 97,1% dari 2000 orang dalam komunitas masyarakat miskin. Sebanyak 82,4% mendaftar sendiri, dan hanya 4,6% yang didaftarkan orang lain atau secara kolektif[1]. Persentase itu memberikan indikasi bahwa dalam Pemilu Juni 1999 upaya mobilisasi jauh berkurang, sehingga masyarakat miskin tidak lagi menjadi sasaran partai tertentu untuk melakukan mobilisasi secara massal. Kesadaran mendaftar sendiri ternyata juga dibarengi dengan kesadaran bahwa suatu pilihan politik merupakan hal mahal dan tidak mudah dipermainkan. Di situlah ketegaran politik kaum miskin Indonesia. Semakin ditekan, dipaksa, disuap dan dimobilisasi, semakin kecil pula pengaruhnya terhadap pilihan politik mereka. Justru survei di dua kota besar tersebut membuktikan bahwa pemberian informasi partai dengan cara persuasiflah yang lebih efektif mengubah pilihan politik pemilih miskin. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat ikatan kolektif pada masyarakat miskin indonesia yang masih cukup kuat ditambah lagi adanya nilai-nilai primordialisme dan patron yang kuat.
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa kehidupan ekonomi tidak selalu mempengaruhi demokratisasi. Kebebasan atau (demokrasi) juga belum tentu dapat menhasilkan suatu pertumbuhan ekonomi yang bagus (hal ini dapat dilihat dari sejarahnya). Karena demokratisasi bukanlah suatu hal yang dapat muncul begitu saja dengan determinasi suatu hal ,namun merupakan sebuah proses praksis yang semestinya dilakukan dalam proses kita bermasyarakat. Pengorganisasian dan pembentukan koletif-kolektif dalam masyrakat merupakan salah satu upaya pembelajaran demokratisasi.

[1] Valina Singka Subekti, Zulkifli Hamis. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI & Mizan, 2000

No comments: